Sukses

Ekonomi Inggris Diramal Masih Memburuk Hingga 5 Tahun ke Depan

Daya beli pekerja di sejumlah wilayah Inggris diprediksi masih berada bawah tingkat sebelum pandemi hingga akhir tahun 2024.

Liputan6.com, Jakarta Inggris diramal akan melihat pelemahan ekonomi selama lima tahun ke depan. National Institute for Economic and Social Research (Niesr) mengungkapkan bahwa Brexit, pandemi Covid, dan perang Rusia Ukraina telah berdampak buruk pada ekonomi Inggris.

Melansir BBC, Rabu (9/8/2023), daya beli pekerja di sejumlah wilayah Inggris diprediksi masih berada bawah tingkat sebelum pandemi hingga akhir tahun 2024.

Niesr juga memprdiksi, PDB Inggris tidak akan kembali ke level 2019 hingga paruh kedua tahun depan "Pertumbuhan yang lemah ini selama periode lima tahun telah memperlebar kesenjangan antara masyarakat negara yang lebih kaya dan lebih miskin," kata lembaga think tank tersebut.

Di London, upah riil diperkirakan 7 persen lebih tinggi pada akhir tahun depan dibandingkan pada 2019. Sedangkan di wilayah seperti West Midlands diperkirakan 5 persen lebih rendah,menurut para analis Niesr.

Meskipun ada kenaikan gaji, inflasi yang tinggi telah mendorong kenaikan biaya hidup di Inggris, dan membebani sejumlah besar rumah tangga di seluruh negeri.

Niesr memperkirakan bahwa inflasi Inggris akan terus berada di atas target 2 persen Bank of England hingga awal 2025, yang berarti biaya hidup juga akan terus meningkat. 

"Artinya, upah orang, jika memperhitungkan inflasi, akan berada di bawah level sebelum pandemi hingga akhir tahun depan di banyak wilayah Inggris", jelasnya.

Prof Adrian Pabst, wakil direktur kebijakan publik di Niesr, mengatakan rumah tangga berpendapatan rendah di Inggris akan paling terpukul dari lonjakan inflasi, dengan pendapatan dalam kelompok masyarakat ini diprediksi turun sekitar 17 persen selama lima tahun hingga 2024.

"Bagi sebagian masyarakat miskin, mengatasi pertumbuhan upah riil yang rendah atau tidak ada sama sekali dan inflasi yang terus-menerus melibatkan utang baru untuk membayar biaya perumahan, energi, dan makanan yang lebih tinggi secara permanen," imbuh Pabst.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Guncangan Pasokan

Namun, Niesr memprediksi Inggris dapat menghindari resesi tahun ini, tetapi ada risiko 60 persen pada akhir tahun 2024.

Prof Stephen Millard, wakil direktur untuk pemodelan dan peramalan ekonomi makro di Niesr, mengatakan "guncangan pasokan" dari Brexit, Covid, perang Ukraina, dan kenaikan suku bunga telah "mempengaruhi ekonomi Inggris dengan buruk".

"Kebutuhan untuk mengatasi kinerja pertumbuhan yang buruk di Inggris tetap menjadi tantangan utama yang dihadapi para pembuat kebijakan saat mendekati pemilu berikutnya," katanya.

3 dari 4 halaman

IMF: Inggris Tak Jadi Resesi, Ekonomi Tumbuh 0,4 Persen di 2023

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perekonomian Inggris akan terhindar dari ancaman resesi tahun ini.

Melansir laman BBC, Rabu (24/5/2023) IMF kini meramal ekonomi Inggris akan tumbuh 0,4 persen di tahun 2023, setelah bulan lalu sempat diperkirakan akan berkontraksi sebesar 0,3 persen.

IMF menyebut, pertumbuhan ekonomi Inggris akan didorong oleh permintaan konsumen yang kuat dan penurunan biaya energi.

Tetapi badan itu juga mengingatkan bahwa Inggris masih dihantui oleh angka inflasi yang tinggi, dan suku bunga yang lebih tinggi masih perlu dipertahankan oleh Bank of England.

Saat berpidato di London, direktur pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan bahwa angka pertumbuhan yang meningkat dipicu oleh penurunan harga energi, meredakan kekhawatiran atas dampak Brexit dan peningkatan stabilitas keuangan.

"(Pemerintah telah mengambil) langkah tegas dan bertanggung jawab dalam beberapa bulan terakhir," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Pentingnya Pemulihan di Sektor Ketenagakerjaan

Tetapi Georgieva juga melihat pemotongan pajak belum memungkinkan, memperingatkan bahwa saat ini "tidak terjangkau, juga tidak diinginkan".

Laporan IMF juga mencatat bahwa risiko ekonomi Inggris cukup besar, dengan bahaya terbesar datang dari "persistensi yang lebih besar dari yang diantisipasi dalam penetapan harga dan upah", yang akan membuat inflasi lebih tinggi lebih lama.

Georgieva menyarankan, Inggris perlu mengatasi lonjakan masyarakat yang tidak bekerja, serta mereka yang memiliki penyakit jangka panjang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.