Sukses

Raksasa, Simak Kerugian Ekonomi Global dari Perang Rusia Ukraina

Kerugian produksi global akibat perang Rusia Ukraina diprediksi dapat bertambah USD 1 triliun atau lebih tahun ini.

Liputan6.com, Jakarta Perang Rusia Ukraina telah merugikan ekonomi global hingga lebih dari USD 1,6 triliun pada 2022 lalu.

Hal itu diungkapkan dari sebuah penelitian yang dirilis oleh German Institute of Economics.

Mengutip Anadolu Agency, Kamis (23/2/2023) penelitian German Institute of Economics juga mengungkapkan bahwa, kerugian produksi global akibat perang Rusia Ukraina dapat bertambah USD 1 triliun atau lebih di tahun 2023 ini.

Penghitungan model lembaga ini didasarkan pada produk domestik bruto (PDB). Prakiraan dari Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi dasar perhitungan dan estimasi.

Dalam studi ini, perkembangan aktual PDB pada 2022 dan perkiraan untuk tahun 2023 dibandingkan dengan perkembangan yang dilihat semula sebelum pPerang Rusia Ukraina pada akhir tahun 2021.

Seperti diketahui, konflik Rusia Ukraina telah memicu gangguan pasokan dan produksi di seluruh dunia. Selain itu, harga energi juga meroket. Masalah ini diperburuk dengan lonjakan inflasi di negara negara maju, yang mengurangi daya beli konsumen.

"Mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti, kenaikan biaya pembiayaan akibat kenaikan suku bunga di seluruh dunia dan kenaikan biaya barang modal, perusahaan di seluruh dunia menahan investasi mereka," beber studi German Institute of Economics.

Namun untuk tahun ini, penulis studi memperkirakan kerugian absolut akan sedikit lebih rendah daripada tahun 2022. 

Alasan dari perkiraan itu adalah, karena adanya pelonggaran pasar bahan baku dan energi global.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bahaya, Krisis Energi Bisa Bikin 141 Juta Orang Masuk Jurang Kemiskinan Ekstrem

Krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina berisiko mendorong 141 juta orang di seluruh dunia ke dalam kemiskinan ekstrem. 

Hal itu diungkapkan oleh laporan baru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Energy.

Melansir CNN Business, Selasa (21/2/2023) dalam jurnal Nature Energy para peneliti dari Belanda, Inggris, China, dan Amerika Serikat membuat model dampak kenaikan harga energi di 116 negara dan menemukan bahwa pengeluaran rumah tangga meningkat rata-rata hingga 4,8 persen.

Naiknya pengeluaran ini karena harga batu bara dan gas alam melonjak menyusul pecahnya perang Rusia-Ukraina, menambahkan kenaikan pasca pandemi.

Di negara-negara berpenghasilan rendah, laporan tersebut mengatakan rumah tangga miskin yang sudah menghadapi kekurangan pangan yang parah memiliki risiko kemiskinan yang lebih besar karena biaya energi yang tinggi.

Tak hanya itu, rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi juga merasakan dampak kenaikan biaya energi, tetapi lebih mungkin untuk menyerapnya ke dalam anggaran rumah tangga, kata laporan itu.

Selain itu, sejumlah negara juga ada yang sangat terekspos dengan lonjakan biaya energi.

Salah satunya, kenaikan biaya energi di Estonia, Polandia, dan Republik Ceko berada di atas rata-rata global, terutama karena negara-negara tersebut lebih mengandalkan industri padat energi. Polandia khususnya mengandalkan batu bara untuk 68,5 persen pembangkit energinya, pada tahun 2020.

Kenaikan biaya energi yang disebabkan oleh krisis di Ukraina juga berdampak pada meningkatnya biaya kebutuhan pangan.

Dibandingkan tahun lalu, harga telur di AS naik 70,1 persen, margarin naik 44,7 ersen, mentega 26,3 persen, tepung 20,4 persen, roti 14,9 persen, gula 13,5 persen dan harga ayam naik 10,5 persen bersama-sama dengan buah, menurut data inflasi yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja AS bulan ini.

3 dari 4 halaman

Nestle Hingga Unilever Mulai Rasakan Kenaikan Biaya

CEO Nestlé, grup makanan terbesar di dunia, menggemakan raksasa konsumen lainnya seperti Unilever dan Proctor & Gamble untuk memperingatkan bahwa harga barang kebutuhan pokok akan naik lebih jauh tahun ini.

"Seperti semua konsumen di seluruh dunia, kami telah terkena inflasi dan sekarang kami sedang mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi," kata CEO Nestlé Mark Schneider dalam sebuah panggilan telepon dengan wartawan.

Dari 2.000 merek perusahaan makanan, yang mencakup makanan beku, kembang gula, dan susu formula bayi, Nestle akan terpengaruh oleh kenaikan harga.

Kepala keuangan Unilever Graeme Pitkethly juga mengatakan, "Kami mungkin melewati puncak inflasi, tetapi kami belum mencapai harga puncak." CEO Unilever mengatakan pada panggilan yang sama bahwa perusahaan memperkirakan harga pangan meningkat secara signifikan pada tahun 2023.

4 dari 4 halaman

Diperlukan Lebih Banyak Upaya

Menurut laporan Nature Energy, banyak pemerintah di seluruh dunia telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak kenaikan harga energi pada rumah tangga, mulai dari pengurangan pajak energi dan pemberian diskon tagihan energi hingga subsidi energi dan pembatasan harga sekali pakai.

Namun laporan itu menyarankan lebih banyak upaya, seperti menetapkan subsidi harga, mengenakan pajak penghasilan pada perusahaan energi, dan mengesahkan undang-undang untuk menggunakan sumber energi yang lebih berkelanjutan di sepanjang rantai pasokan makanan.

Laporan tersebut menambahkan bahwa krisis energi ini harus menjadi pengingat akan risiko "sistem energi yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil, tidak hanya menyebabkan jutaan orang berada di ambang kemiskinan ekstrem, tetapi juga mempercepat perubahan iklim, yang menimbulkan lebih banyak tantangan bagi masyarakat rentan terhadap kenaikan harga energi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.