Sukses

Kurs Pound Sterling Bergejolak Usai Rishi Sunak Jadi PM Inggris

Nilai tukar pound sterling bergejolak menyusul terpilihnya Rishi Sunak menjadi Perdana Menteri Inggris. Simak selengkapnya.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar pound sterling bergejolak menyusul terpilihnya Rishi Sunak sebagai Perdana Menteri Inggris.

Seperti diketahui, terpilihnya Rishi Sunak menyusul pengunduran diri Liz Truss, di tengah guncangan pada ekonomi di Inggris yang dilanda lonjakan inflasi dan biaya energi.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (25/10/2022) pound sterling bergerak masuk dan keluar dari zona merah terhadap dolar AS pada perdagangan Senin (24/10).

Itu adalah perdagangan terakhir di atas USD 1,13, sekitar 0,1 persen lebih tinggi.

Imbal hasil obligasi Inggris bertenor 10 tahun JUGA turun menjadi 3,76 persen. Sementara Indeks FTSE 250 dari perusahaan menengah Inggris naik 1,1 persen.

Selama musim panas, kampanye Sunak berjanji untuk membantu rumah tangga di Inggris mengatasi kenaikan biaya hidup, yang menyebabkan masyarakat menarik kembali pengeluaran.

Namun, upaya tersebut tampaknya akan dijalani Sunak dengan penuh tantangan. Indeks harga konsumen atau inflasi Inggris kembali naik menjadi 10,1 persen pada September 2022, tertinggi dalam 40 tahun. 

S&P Global mengatakan bahwa Inggris sudah memasuki dalam resesi.

"Ketidakpastian politik dan ekonomi yang meningkat telah menyebabkan aktivitas bisnis turun pada tingkat yang tidak terlihat sejak krisis keuangan global pada 2009, jika lockdown penguncian pandemi dikecualikan," kata Chris Williamson, kepala ekonom bisnis di S&P Global Market Intelligence.

Menurut Wakil direktur Institute for Fiscal Studies, Carl Emmerson, fokus utama untuk pemerintahan Perdana Menteri Inggris baru adalah menentukan kebijakan fiskal yang tepat. "Kami membutuhkan rencana yang kredibel untuk memastikan bahwa utang pemerintah dapat diperkirakan turun dalam jangka menengah," ujar Emmerson.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Terpilih Jadi PM Inggris, Simak PR Besar Rishi Sunak

Mantan Menteri Keuangan Inggris, Rishi Sunak berhasil terpilih menjadi Perdana Menteri dalam persaingan di Partai Konservatif, setelah pesaingnya Penny Mordaunt gagal mendapatkan dukungan yang cukup dari anggota parlemen.

Dikutip dari BBC, Selasa (25/10/2022) dalam pidato pertamanya setelah terpilih menjadi PM Inggris, Sunak mengatakan bahwa menyatukan partainya dan Inggris akan menjadi "prioritas utamanya".

Kemudian, dalam pidato terpisah di televisi yang berlangsung kurang dari dua menit, Sunak menyatakan berjanji untuk melayani masyarakat Inggris dengan integritas.

Tak lupa, Sunak juga menyampaikan terima kasih kepada mantan Perdana Menteri Liz Truss karena sudah memimpin Inggris selama "keadaan yang sangat sulit".

"Inggris adalah negara yang hebat tetapi tidak diragukan lagi kita menghadapi tantangan ekonomi yang besar," ujar Sunak.

"Kita sekarang membutuhkan stabilitas dan persatuan dan saya akan menjadikannya prioritas utama untuk menyatukan partai dan negara kita," sambungnya.

Rishi Sunak akan menjadi perdana Menteri Inggris keturunan Asia pertama dan termuda selama lebih dari 200 tahun, dengan usianya kini 42 tahun.

Sunak, seorang pemeluk Hindu, diyakini akan menjabat mulai Selasa (25/10) setelah secara resmi ditunjuk oleh Raja Charles III.

Dia menggantikan Liz Truss, menyusul pengunduran dirinya setelah hanya 45 hari menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris.

Tak lama setelah diumumkan akan menjadi PM Inggris, sejumlah pemimpin negara telah menyambut Sunak dengan ucapan selamat, salah satunya Presiden AS Joe Biden.

Sekretaris Pers Gedung Putih mengungkapkan, Presiden Joe Biden mengatakan dia berencana untuk menelepon Sunak untuk mengucapkan selamat setelah pertemuannya dengan Raja Charles III.

3 dari 3 halaman

Jadi PM Inggris, Rishi Sunak Langsung Bertarung dengan Ancaman Resesi

Perdana Menteri Inggris yang baru, Rishi Sunak langsung menghadapi tantangan besar dalam membawa ekonomi negara keluar dari krisis. Salah satunya inflasi belum menunjukkan penurunan hingga krisis energi dan pangan.

Dikutip dari Channel News Asia, Selasa (25/10/2022) data pada Senin 24 Oktober 2022 menunjukkan penurunan ekonomi Inggris telah memburuk pada Oktober 2022, dengan output di sektor swasta pada level terendah dalam 21-bulan.

"Data PMI kilasan Oktober menunjukkan laju penurunan ekonomi mengumpulkan momentum setelah gejolak pasar politik dan keuangan baru-baru ini," kata Chris Williamson, kepala ekonom bisnis di S&P Global Market Intelligence yang membantu mengumpulkan angka-angka tersebut.

"Ketidakpastian politik dan ekonomi yang meningkat telah menyebabkan aktivitas bisnis turun pada tingkat yang tidak terlihat sejak krisis keuangan global pada 2009 jika bulan-bulan lockdown pandemi dikecualikan," ungkapnya.

Williamson menambahkan, bahwa data yang akan datang kemungkinan akan menunjukkan Inggris sudah dalam resesi.

Sementara itu, analis keuangan dari AJ Bell Danni Hewson mengatakan bahwa investor berharap Sunak bisa menstabilkan ekonomi dan situasi politik, meskipun upaya itu akan sulit untuk saat ini.

"Selain pemulihan pound sterling dan pengurangan biaya pinjaman pemerintah, Sunak akan senang jika harga gas Eropa menurun," ujarnya.

Namun, dengan inflasi Inggris pada level tertinggi dalam 40 tahun, di atas 10 persen, Bank of England diyakini akan melanjutkan kenaikan suku bunga besar pada pertemuan selanjutnya.

Adapun Shevaun Haviland, direktur jenderal Kamar Dagang Inggris, yang mendesak Sunak untuk juga membantu bisnis berjuang dengan tagihan energi yang besar.

"Ketidakpastian politik dan ekonomi beberapa bulan terakhir telah sangat merusak kepercayaan bisnis Inggris dan sekarang harus diakhiri," katanya dalam sebuah pernyataan setelah Sunak dikonfirmasi menjadi PM baru Inggris.

"Perdana menteri yang baru harus menjadi pegangan yang mantap untuk memulihkan perekonomian yang dalam kondisi menantang ke depan," lanjutnya.

"Ini berarti menetapkan rencana biaya penuh untuk menangani masalah besar yang dihadapi bisnis; tagihan energi melonjak, kekurangan tenaga kerja, inflasi, dan kenaikan suku bunga," tambah Haviland.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.