Sukses

Survei: Pekerja di China hingga Brasil Khawatir Dampak Inflasi ke Pekerjaan Mereka

Survei daru perusahaan konsultan Oliver Wyman mengungkapkan kekhawatiran akan kestabilan pekerjaan bagi pekerja di China terdampak inflasi.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah survei yang dirilis oleh perusahaan konsultan Oliver Wyman bulan ini mengungkapkan kekhawatiran akan kestabilan pekerjaan bagi masyarakat di China. Temuan serupa juga terjadi di Brasil. 

Dilansir dari CNBC International, Kamis (15/9/2022) laporan itu mengatakan bahwa di China, 32 persen responden mengungkapkan khawatir tentang dampak inflasi pada pekerjaan mereka, seperti halnya 30 persen responden di Brasil.

Tetapi di AS dan Inggris, angka itu hanya mencapai 13 persen.

Data resmi pada Juli 2022 menunjukkan pengangguran di kalangan anak muda di China berusia antara 16 dan 24 tahun telah melonjak hingga hampir 20 persen, sementara populasi usia kerja di kota-kota sekitar 5,4 persen.

Sementara di Brasil, tingkat pengangguran pada Juli 2022 berada di angka 9,1 persen. Adapun tingkat pengangguran di AS yang jauh lebih rendah yaitu 3,5 persen di bulan yang sama, dan 3,6 persen di Inggris. 

Studi Oliver Wyman berfokus pada pandangan konsumen tentang dampak inflasi.

Tetapi mitra yang berbasis di Hong Kong, yakni Ben Simpfendorfer mencatat bahwa setiap negara menghadapi situasi unik selain inflasi yang kemungkinan mempengaruhi hasil survei.

Di Brasil, dia menyebut, "periode inflasi yang sangat tinggi bukanlah hal yang tidak biasa dan bahwa disparitas pendapatan cenderung lebih besar.".

Hal itu tercermin dari 68 persen responden di Brasil yang mengatakan bahwa mereka khawatir tentang kemampuan untuk membayar bahan makanan dan produk-produk penting.

Meskipun mampu membeli pangan merupakan area perhatian utama bagi konsumen di keempat negara, Brasil menempati peringkat pertama. Inggris berada di urutan kedua dengan 48 persen, diikuti oleh 44 persen di AS dan 42 persen di China.

“Sementara di China, di mana pertumbuhan sedikit lebih lemah, pertumbuhan pekerjaan untuk demografi tertentu lebih lemah, pekerja di sektor teknologi telah berjuang baru-baru ini, pertumbuhan upah juga lamban," kata Simpfendorfer.

"Itu mungkin juga menjadi kekhawatiran tentang kemampuan membayar bahan makanan," sebutnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Survei : Warga di Inggris Melihat Ekonomi Bakal Memburuk

Dalam hal prospek ekonomi, responden Inggris adalah yang paling pesimis, dengan 75 persen memperkirakan kondisi ekonomi negara itu bakal memburuk, menurut laporan Oliver Wyman.

Kemudian di Amerika Serikat, 58 persen responden meyakini  kondisi ekonomi negara mereka akan menurun.

Namun responden di China dan Brasil paling optimis, dengan masing-masing 42 persen dan 26 persen yakin kondisi ekonomi negara mereka bakal membaik dalam setengah tahun ke depan, menurut survei pada bulan Juli 2022.

Namun, kurang dari 15 persen responden di AS dan Inggris mengatakan mereka termotivasi oleh ketakutan resesi untuk mengambil keterampilan baru atau mengambil pekerjaan sampingan. 

Diketahui bahwa ekonomi China telah terseret oleh kebijakan nol-Covid-19 dan kemerosotan pasar properti. Peraturan yang lebih ketat, terutama dalam hal perusahaan teknologi internet, juga membebani sentimen.

Pendapatan China juga tumbuh lebih lambat daripada laju kenaikan harga secara keseluruhan.

Pendapatan bulanan rata-rata untuk penduduk kota di China adalah 4.167 yuan China (USD 598), menurut data resmi untuk paruh pertama tahun ini. Angka itu hanya 1,9 persen lebih tinggi dari tahun lalu.

Sebaliknya, indeks harga konsumen China naik 2,5 persen pada Agustus dari tahun lalu.

3 dari 3 halaman

Angka Pengangguran Tertinggi dalam Sejarah, China Minta Sarjana Cari Kerja di Desa

Pemerintah China meminta para sarjana atau  lulusan perguruan tinggi untuk mencari pekerjaan di pedesaan. Ini setelah jumlah pengangguran di antara generasi muda di daerah perkotaan melonjak ke tingkat tertinggi dalam sejarah.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (14/6/2022) sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan minggu lalu oleh kementerian pendidikan, keuangan, sipil, dan sumber daya manusia serta jaminan sosial China, menyerukan pemerintah daerah harus menarik lulusan perguruan tinggi untuk bekerja sebagai petugas di desa. 

Pemerintah China pun akan menawarkan insentif pajak dan pinjaman kepada lulusan perguruan tinggi yang memulai bisnis untuk melayani masyarakat pedesaan, tambah pernyataan bersama itu.

Manfaat serupa akan ditawarkan kepada usaha kecil yang ada di pedesaan yang mempekerjakan lulusan perguruan tinggi, termasuk di bidang-bidang seperti tata graha dan perawatan lansia.

Biasanya, lulusan perguruan tinggi di China sebagian besar memilih bekerja di perusahaan bergaji tinggi di kota-kota besar, dan ada kesenjangan pendapatan yang signifikan antara daerah pedesaan dan perkotaan.

Ini bukan pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir China mendesak masyarakatnya untuk mencari pekerjaan di pedesaan yang luas tetapi kurang berkembang.

Pada Juli 2020, ketika wabah awal Covid-19 menghantam ekonomi China, otoritas negara itu mendorong lulusan perguruan tinggi untuk pindah ke daerah pedesaan, daripada tinggal di perkotaan saat berjuang di tengah kesempatan kerja yang terbatas.

Tingkat pengangguran perkotaan untuk usia 16-24 tahun melonjak menjadi 18,2 persen bersejarah di bulan Mei 2022, menurut statistik terbaru dari pemerintah China.

Angka tersebut bahkan belum termasuk lulusan perguruan tinggi baru secara keseluruhan tahun ini, dan China hanya melakukan survei lapangan kerja di daerah perkotaan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.