Sukses

Ketika Wabah Covid-19 Terbaru di China Surutkan Permintaan Konsumen Barang Mewah

Merek-merek fashion mewah telah memangkas ekspektasi untuk bisnis mereka di China, ketika konsumen masih berhati-hati untuk berbelanja pasca lockdown Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Merek-merek barang mewah telah memangkas ekspektasi untuk bisnis mereka di China tahun ini, ketika lockdown Covid-19 di negara itu memicu hambatan bagi pemulihan ekonomi dan mensurutkan niat belanja konsumen.

Pemangkasan ini diungkapkan melalui hasil survei perusahaan konsultan manajemen AS, yaitu Oliver Wyman, yang dibagikan secara eksklusif dengan CNBC.

Dilansir dari laman CNBC International, Rabu (15/6/2022) hasil survei yang dirilis Oliver Wyman mengungkapkan bahwa perkiraan pertumbuhan untuk merek barang mewah dan premium dipangkas hingga 15 poin persentase, dan turun hampir 25 poin persentase untuk merek mewah saja.

Untuk bisnis mereka di China, bisnis barang premium dan mewah sekarang hanya mengharapkan pertumbuhan 3 persen year-on-year tahun ini.

Angka tersebut turun tajam dari lonjakan 18 persen yang mereka perkirakan beberapa bulan lalu, kata laporan itu. 

Oliver Wyman mengatakan survei eksklusifnya pada Mei 2022 mencakup lebih dari 30 klien perusahaan konsultan di seluruh konsumen barang-barang premium dan mewah, serta mewakili lebih dari USD 50 miliar (USD 737,1 triliun) dalam penjualan ritel.

"Masih ada ketidakpastian yang sangat tinggi tentang apa yang akan menjadi (tindakan) Covid-19 di masa depan di China," kata Kenneth Chow, pejabat di Oliver Wyman.

"Ada keraguan besar tentang apakah kepercayaan konsumen (dapat) pulih dengan cepat, seperti pada 2020 dan 2021,"katanya, mengutip wawancara Oliver Wyman dengan para eksekutif merek-merek fashion mewah.

Shanghai, kota dengan produk domestik bruto terbesar di China dan pusat bisnis asing, menghadapi wabah terbaru Covid-19 musim semi ini - yang terburuk di negara itu sejak guncangan awal pandemi pada awal tahun 2020.

Selama 2 bulan, kota itu memerintahkan penduduknya untuk tetap tinggal di rumah dan sebagian besar bisnis tutup, sebelum akhirnya dibuka kembali pada 1 Juni.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pengeluaran Konsumen di China Belum Pulih Meski Lockdown Covid-19 Sudah Dicabut

Penjualan ritel China pun anjlok 11,1 persen pada April 2022 dibandingkan tahun lalu, meski sempat mencatat kenaikan 3,3 persen selama tiga bulan pertama tahun ini. P

Pengeluaran konsumen di China tidak pernah sepenuhnya pulih dari fase awal pandemi, dan ketika Covid-19 memasuki tahun ketiga, masyarakat semakin khawatir tentang pendapatan di masa depan.

Tingkat pengangguran di 31 kota terbesar China melampaui angka tertinggi, mencapai 6,7 persen pada April 2022 – tertinggi sejak pencatatan dimulai pada 2018.

"Tampaknya kali ini, Gen Z yang makmur (berusia 25 atau lebih muda) mungkin bereaksi berbeda, terutama karena kurangnya keamanan kerja mungkin merupakan sesuatu yang harus mereka tangani untuk pertama kalinya," kata laporan survei Oliver Wyman.

"Pandangan umum lainnya dari orang yang kami wawancarai adalah bahwa semakin lama pembatasan, semakin lama pemulihan akan berlangsung," kata survei tersebut.

Bahkan di wilayah yang tidak terdampak lockdown, klien mengatakan lalu lintas di dalam ritel di China turun lebih dari 50 persen, dan persentase pengunjung yang benar-benar melakukan pembelian turun hingga 30 persen, menurut laporan Oliver Wyman.

3 dari 3 halaman

Masih Ada yang Optimis

Namun, ada banyak merek barang mewah dan premium yang disurvei mengaku optimis tentang peluang pertumbuhan dari perjalanan domestik dan e-commerce, kata Kenneth Chow, pejabat di Oliver Wyman.

Dia mengatakan begitu perjalanan domestik diizinkan untuk dibuka, provinsi Hainan cenderung mendapat untung.

Wilayah tropis di China itu telah menjadi pusat perbelanjaan barang mewah karena sebagian besar pelancong tidak dapat pergi ke luar negeri.

Kenneth Chow menambahkan bahwa banyak merek mewah menggunakan e-commerce untuk menjangkau kota-kota kecil di China, sementara merek di kisaran pasar yang lebih rendah sedang menjajaki pembukaan toko baru.

"Tetapi ketika berbicara dengan beberapa klien kami, lockdown Covid-19 di Shanghai dan beberapa kota lain telah menjadi perhatian utama mereka, daripada ekspansi toko," beber Chow.

Melihat jangka panjang, tingkat tabungan konsumen China yang tinggi secara historis menjadi prediktor yang baik untuk pengeluaran di masa depan, menurut laporan Oliver Wyman.

Adapun survei People's Bank of China yang mengatakan bahwa pada kuartal pertama, kecenderungan rumah tangga di China untuk menabung mencapai level tertinggi sejak 2002.

"Begitu kepercayaan konsumen dilanjutkan dan juga langkah-langkah penguncian Covid-19 dilonggarkan, akan ada tingkat pengeluaran yang jauh lebih baik untuk dibuka," kata Chow.

"Tetapi pertanyaannya adalah, apakah masih ada dan kapan pembatasan Covid-19 akan dikurangi," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.