Sukses

Pengusaha Desak Pemerintah Segera Selesaikan Masalah Ketimpangan Ekonomi

Ekonomi Indonesia bisa dikatakan inklusif apabila angka ketimpangan antar wilayah (Indeks Williamson) tidak lebih dari 0,6 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B Sukamdani mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum inklusif. Salah satu indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak merata.

"Jadi pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum inklusif. Masih banyak persoalan yang menghambat untuk mencapainya," jelas Hariyadi dalam webinar bersama LIPI, Rabu (26/8/2020).

Ekonomi Indonesia bisa dikatakan inklusif apabila angka ketimpangan antar wilayah (Indeks Williamson) tidak lebih dari 0,6 persen. Saat ini, angka ketimpangan antar wilayah masih berada di atas 0,6 persen.

Ketimpangan di kabupaten atau kota jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi. Tercatat ada 12 provinsi yang mengalami persoalan ketimpangan ini.

"Bahkan, otonomi daerah yang telah dilaksanakan sejak 2001 pun tak mampu mengatasi persoalan tersebut. Sehingga manfaat dari otonomi daerah pun belum menunjukkan efektivitasnya," ujarnya.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah lebih menekankan pada proses pemulihan ekonomi inklusif. Demi menyelesaikan persoalan ketimpangan antar wilayah yang masih sulit diatasi.

 

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Waspada

Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, Indonesia harus waspada terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2020 agar tidak resesi. Diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 sebesar -4,19 persen.

"Kita harus waspada terhadap potensi pertumbuhan ekonomi di kuartal III ini. Berarti Juli sampai September, saat ini kita di bulan Agustus dan kita bisa melihat seperti apa potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III," kata Bambang dalam webinar Kebijakan Pembangunan yang Inklusif dan Berkelanjutan Strategi Pemulihan Pasca-Pandemi, Rabu (26/8).

"Yang membuat ekonomi Indonesia langsung terkontraksi lumayan dalam sampai -5,32 persen itu karena konsumsi rumah tangga yang memang terkoreksi cukup dalam sampai -5,51 persen lebih dalam dari kontraksi pertumbuhan ekonomi sendiri," jelasnya

Menurutnya kontraksi konsumsi rumah tangga ini berasal dari sub sektor restoran dan hotel sebesar -16,5 persen, serta transportasi dan komunikasi 15,3 persen, ini cerminan bahwa yang langsung terasa oleh daerah-daerah yang bergantung pada sektor pariwisata.

"Minggu lalu saya ke Bali dan saya melihat sendiri ekonomi di Bali itu lumpuh, karena jumlah turis yang sangat terbatas, belum banyaknya hotel yang beroperasi sehingga masih banyak pekerja yang terpaksa dirumahkan. Demikian juga kegiatan ritel toko-toko segala macam juga masih sangat sedikit," ujarnya.

Selain itu, dia melihat sektor transportasi dan akomodasi ini adalah dua sektor yang mempekerjakan orang dalam jumlah yang cukup besar secara langsung maupun tidak langsung, artinya pasti kontraksi ini akan berujung pada peningkatan kemiskinan dan juga gangguan pada ketimpangan gini ratio.

"Kontraksi nasional dan global akhirnya menuntut kita untuk mencari solusi. Tentunya solusinya tidak bisa ideal, karena kita harus melakukan dengan protokol yang disiplin dari covid-19. Sehingga otomatis kita harus mencari upaya lain dalam adaptasi kebiasaan baru, sekaligus mengedepankan pemulihan ekonomi yang inklusif dan paling penting berkelanjutan," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.