Sukses

Laporan Neraca Dagang Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di 2019

Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution turut berkomentar mengenai defisit neraca perdagangan April 2019 yang mencapai sebesar USD 250 miliar.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution turut berkomentar mengenai defisit neraca perdagangan April 2019 yang mencapai sebesar USD 2,50 miliar.

Menurutnya, defisit tersebut harus betul-betul dipelajari, sebab bukan hanya ekspornya yang melambat akan tetapi impornya pun demikian.

"Ya memang defisitnya sangat lebar artinya itu membuat kita betul-betul harus mempelajari betul-betul situasi karena keliatannya ada apa? Jadi ini adalah situasi yang kita liat belakangan ini tidak terlalu menggembirakan tetapi tidak ada perlunya juga pesimis," kata Menko Darmin Saat ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Menko Darmin mengatakan, apabila pemerintah tidak bisa mencari jalan untuk mengendalikan defisit neraca perdagangan, maka akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kalau kita tidak bisa mencari jalan menjaga pertumbuhan, itu bisa menurun," imbuhnya.

Menurutnya ada salah satu cara efektif untuk mengendalikan neraca dagang, yakni dengan cara mendorong investasi masuk. Namun investasi tersebut tidak diperuntukan terhadap ekspor saja, akan tetapi substitusi impor juga benar-benar harus didorong.

"Memang itu sejalan juga ada tax holiday yang kita berikan bahwa kita inginkan bukan hanya yang langsung untuk ekspor tetapi menggantikan yang impor. Kalau masih kalau mau ekspor kelihatan sudah harus lebih cermat apa barangnya, itu sudah harus diidentifikasi dengan baik," pungkasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Neraca Perdagangan Indonesia defisit sebesar USD 2,50 miliar

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 defisit sebesar USD 2,50 miliar. Defisit tersebut disebabkan oleh defisit sektor migas dan non migas masing masing sebesar USD 1,49 miliar dan USD 1,01 miliar.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit pada April tersebut merupakan terbesar sejak Juli 2013. Menurut catatan BPS, defisit yang hampir sama pernah terjadi pada Juli 2013 sebesar USD 2,33 miliar.

"Menurut data kami, yang sekarang ada, itu terbesar di Juli 2013 sekitar USD 2,33 miliar. Lalu April ini, sebesar USD 2,50 miliar," ujar Suhariyanto di Kantornya.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

3 dari 3 halaman

Neraca Dagang Defisit USD 2,5 Miliar, Ini Usul buat Pemerintah

Pada April 2019 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 2,50 miliar, atau yang terparah sepanjang sejarah.

Defisit neraca perdagangan tersebut melampaui Juli 2013 yang tercatat sebesar USD 2,33 miliar. Itu dipicu oleh faktor defisit sektor migas sebesar USD 1,49 miliar, dan non-migas senilai 1,01 miliar.

Menanggulangi hal tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira coba memberikan beberapa solusi. Salah satunya, dengan memperluas pasar ekspor ke berbagai negara seperti yang ada di kawasan Afrika Utara dan Eropa Timur.

"Perluasan pasar ekspor mutlak diperlukan untuk diversifikasi risiko perang dagang. Market seperti Afrika Utara dan Eropa Timur bisa didorong untuk serap kelebihan produksi ekspor," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).

Di samping itu, ia melanjutkan, pemerintah juga perlu menjaga gerak impor yang masuk ke Tanah Air. Hal itu dilakukan dengan cara mengendalikan impor barang konsumsi melalui pengawasan ketat di pintu-pintu masuk barang impor utama, termasuk pengawasan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI).

Menyikapi hal tersebut, dia pun mendorong produk lokal agar mau bersaing dengan produk impor, khususnya yang berasal dari China.

"Itu bisa dengan peningkatan daya saing produk domestik untuk bersaing dengan produk impor asal China," imbuhnya.

Bhima juga menyoroti pengaturan porsi barang impor di sektor e-commerce. Dia menilai, mayoritas barang yang dijual di pasar e-commerce dalam negeri merupakan produk impor.

"Selama ini 97 persen barang yang ada di e-commerce adalah produk impor. Porsinya harus dirubah dengan regulasi 70 persen wajib produk dalam negeri," ungkap dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.