Sukses

Harga Minyak Melambung, Pertamina Diharap Tahan Kenaikan Harga BBM

Meski harga minyak dunia naik, pada tahun lalu Pertamina tidak menempuh kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) dinilai memiliki kesiapan strategi keuangan guna mengantisipasi potential loss saat harga minyak dunia mengalami kenaikan. Hal ini telah terbukti pada 2017 lalu.

Pengamat Energi Fahmy Radhi mengatakan, meski harga minyak dunia naik, pada tahun lalu Pertamina tidak menempuh kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini sejalan dengan permintaan pemerintah walaupun harga minyak dunia sedang tinggi.

"Yang dijual Pertamina itu kan tidak hanya premium dan solar, juga menjual pertalite dan pertamax. Kemudian Pertamina juga menciptakan beberapa jenis BBM lainnya. Pertamina mengecek artinya banyak jenis yang dijual sesuai dengan harga pasar," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (5/10/2018).

Sebelumnya BPK merilis ikhtisar laporan keuangan bahwa keuangan Pertamina tergerus Rp 26,30 triliun lantaran tidak menaikkan harga BBM serta pelaksanaan BBM satu harga pada 2017.

Kebijakan itu berimplikasi membebani keuangan Pertamina sebab harga jual eceran biodiesel maupun BBM khusus penugasan lebih rendah di pasaran.

Namun demikian, lanjut Fahmy, Pertamina masih bisa memperoleh keuntungan dari penjualan pertalite, pertamax dan premium. Keuntungan penjualan dari BBM jenis lainnya itulah yang dimanfaatkan untuk menutupi potential loss.

"Itu baru jualan di sektor hilir, Pertamina kan juga mempunyai usaha-usaha lain di sektor hulu dengan jumlah yang besar. Pemerintah memberikan juga blok-blok migas terminasi seperti Blok Mahakam atau Blok Rokan untuk dikelola Pertamina," kata dia.

Oleh sebab itu, dia menilai jika keuangan Pertamina tidak akan tergerus signifikan. Sebaliknya, Pertamina tetap memperoleh keuntungan yang berasal dari keseluruhan pendapatan hulu dan hilir.

"Pertamina masih mencatat keuntungan tapi memang tidak sebesar kalau menaikkan harga premium. Kenaikan premium memang mengurangi beban Pertamina tapi mengalihkan bebannya ke rakyat," lanjut dia.

Fahmy juga menyatakan, walaupun selama ini Pertamina tidak menaikkan harga BBM, namun pemerintah tetap menjaga keuangan perusahaan pelat merah tersebut dari potential loss melalui pemberian subsidi.

"Kebijakan tersebut juga berlaku untuk penerapan BBM satu harga dengan adanya subsidi solar Rp 2.500 per liter sehingga amat membantu cash flow Pertamina," ungkap dia.

Selain itu, dengan langkah Pertamina yang tidak menaikkan harga BBM saat harga minyak dunia sedang melonjak, akan ikut membantu menahan potensi gejolak perekonomian nasional.

"Kalau premium dinaikkan sesuai harga pasar maka terjadi inflasi. Dampak inflasi semakin mengurangi daya beli masyarakat serta harga kebutuhan pokok naik. Jadi yang paling menderita itu rakyat miskin. Jadi kalau harga minyak masih di bawah USD 100 dolar, saya rasa jangan dinaikkan," tandas dia.

 

Pemerintah dinilai perlu membentuk lembaga otonom yang diberikan kewenangan untuk menghitung besaran subsidi energi secara objektif. Hal Ini dipandang penting sebagai upaya mengurangi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menyatakan, perdebatan mengenai kenaikkan tarif Bahan Bakar Minyak (BBM) memang dilematis. Meski begitu, ia menekankan pemerintah harus mengambil posisi yang jelas untuk kepentingan ini.

"Kita kan masih tabu ya ngomongin apakah BBM ini harus naik atau tidak. Kalau naik nanti dianggap tidak berpihak pada rakyat, padahal langkah ini perlu dilakukan untuk memperbaiki CAD," tuturnya seperti ditulis Liputan6.com, Minggu (15/9/18).

Fungsi pembentukan lembaga otonom tersebut ialah sebagai titik tengah dalam menentukan besaran subsidi energi dan harga jual BBM yang ideal baik dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta dari segi kemampuan rakyat. Pasalnya, menurut dia, persoalan harga BBM ini punya implikasi yang besar terhadap kinerja perusahaan-perusahaan BUMN.

"Untuk kepentingan jangka panjang, perlu dipertimbangkan membentuk lembaga otonom, ini benchmarknya sudah ada di negara lain. Selama ini yang memformulasikan harga BBM kan kementerian BUMN dan terbebani dengan subjektifitas politis jangka pendek," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Abra, kehadiran lembaga otonom dapat membantu menjembatani kepentingan antara pemerintah, DPR, dan masyarakat. Terutama mengurangi risiko finansial bagi BUMN.

"Keuntungan Pertamina semakin mengecil akibat menanggung kebijakan populis pemerintah. Dengan adanya lembaga otonom, mereka bisa ambil posisi tengah, mempertimbangkan kedua kepentingan," tandas dia.

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.