Sukses

Hitungan Kenaikan Royalti Batu Bara Diminta Rasional

Pemerintah diminta mengkaji lebih dalam lagi terkait rencana kenaikan royalti batu bara untuk izin Usaha Pertambangan (IUP).

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta mengkaji lebih dalam lagi terkait rencana kenaikan royalti batu bara untuk izin Usaha Pertambangan (IUP). Kajian yang dilakukan harus jujur, terbuka dan rasional. 

Sebab, menurut Pengamat Pertambangan dan Metalurgi, Yusuf, ada banyak dampak yang akan terjadi jika pemerintah tetap kekeuh menaikan royalti batu bara.
 
Secara sepintas, memang terlihat tidak adil, ketika perusahaan pertambangan dikenakan royalti 13,5% sementara IUP, hanya dikenakan kewajiban 3,5% dan 7%.

Untuk menentukan royalti, tidak bisa hanya melihat aspek tersebut. Sebab beban dan kondisi masing-masing perusahaan berbeda.
 
Karena untuk melihat industri batu bara, harus dilihat striping ratio, lokasi tambang, ketebalan sin dan kualitas batu bara.

Jika melihat beberapa aspek tersebut, maka keinginan untuk menyamakan royalti IUP dan PKP2BM justru tidak adil.
 
“Sekarang ini, IUP dalam posisi yang sulit. Dengan harga batu bara seperti saat ini,tentu keinginan menaikan royalti tidak realistis,” ungkap mantan peneliti LIPI tersebut.
 
Dengan kenaikan royalti, maka otomatis cost of money, beban uang yang harus dikeluarkan perusahaan akan semakin besar.

Di sisi lain, persoalan mendasar yang selama ini menimpa perusaaan pertambangan masih saja terus terjadi.

Mulai dari susahnya perizinan, hingga berbagai pungutan tidak resmi yang masih marak terjadi, mulai dari level kelurahan atau desa, kecamatan hingga kabupaten.
 
“Kalau cost produksi, masih mudah menghitungnya, tetapi cost di luar itu yang susah dan jumlahnya tidak pasti,” terang dia.
 
Karena itu, menurut dia, apakah ada jaminan dari pemerintah bahwa, perizinan akan dipermudah serta biaya dari pungutan tidak resmi tidak aka ada lagi. Jika tidak ada jaminan soal itu, maka beban pengusaha akan bertambah. Kepastian kegiatan usaha  yang selama ini menjadi momok pengusaha pertambanganpun masih terus terjadi.
 
Dampak lain dari kebijakan kenaikan royalti ini, maka kegiatan pertambangan tanpa izin pun akan marak.

Dari laporan yang dilansir APBI, selisih produksi batu bara yang tidak masuk perhitungan pemerintah cukup besar lebih dari 50 juta ton. Jumlah tersebut berasal dari aktiitas tambang illegal.
 
Dampak dari kegiatan pertambangan illegal, lingkungan akan menjadi rusak. Sementara industri pertambangan mendapatkan sorotan, karena kerusakan lingkungan akibat kegiatan yang dilakukan. 

Dengan demikian, maka prinsip pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) yang menjadi ruh kegiatan pertambangan tidak akan terjadi.
 
Ia bahkan mengusulkan kepada pemerintah, perusahaan pertambangan batu bara yang sudah melaksanakan prinsip good mining practice, sebaiknya diberi kompensasi yang lebih rendah.

Sementara perusahaan yang tidak menjalankan prinsip itu, dikenakan beban yang lebih tinggi atau jika perlu diberikan terminasi atau diberhentikan kegiatan pertambangannya.
 
“Lebih baik memberi kan insentif royalti lebih rendah kepada yang menjalakan prinsip good mining practice, ketimbang menaikan royalti,” ungkap alumni Pertambangan ITB ini lagi.
 
Kepada pengusaha tambang, ia juga meminta agar jujur. Jika memang ada keuntungan yang diperoleh, jangan sampai melaporkan bahwa perusahaan selalu rugi, hanya agar meghindari pajak dan sebagainya.

Karena itu, penekannya, bukan hanya pada pemerintah selaku pembuat kebijakan tetapi juga kepada pengusaha.
 
“Semua pihak harus duduk bersama, buka-bukaan dan fair. Kalaupun ada rencana kenaikan, hitungannya harus jelas dan rasional,” tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini