Berubah Sikap, Gerindra Akhirnya Tolak Kenaikan Harga BBM

Gerindra bisa memahami subsidi BBM membebani APBN, namun skema RAPBN-P 2013 tak mengubah beban itu.

oleh Liputan6 diperbarui 17 Jun 2013, 21:48 WIB
Di menit-menit terakhir, Fraksi Partai Gerindra ternyata berubah pikiran. Semula mendukung pengesahan RAPBN-P 2013 yang di dalamnya mengatur harga BBM bersubsidi berubah jadi menolak.

Hal ini karena kenaikan BBM tak menurunkan alokasi subsidi BBM dalam RAPBN-P seperti yang seharusnya.  Anggaran dana penurunan subsidi juga tak  digunakan untuk kepentingan infrastruktur dan transporasi murah rakyat. Syarat inilah yang disampaikan Ketua Dewan Pembina Gerindra, Prabowo Subianto.

Gerindra bisa memahami subsidi BBM membebani APBN, namun skema  RAPBN-P 2013 tak mengubah beban itu. "Subsidi BBM malah bertambah. Tak ada jaminan kompensasi kembali ke rakyat dalam wujud transportasi murah dan infrastruktur," kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (17/6/2013).

Partai Gerindra memahami subsidi jangan salah arah. Subsidi harus diterima rakyat yang membutuhkan. Dana subsidi bisa dialihkan untuk infrastruktur, pertanian, kesehatan atau pendidikan. Anehnya, harga BBM naik namun alokasi anggaran untuk subsidi BBM justru meningkat.

Kebijakan kenaikan harga BBM memang hak pemerintah, tapi jelas menambah kesengsaraan rakyat. "Harga-harga kebutuhan pokok meroket, apalagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri," ujar Fadli.

Menurut Gerindra, ada dua anomali logika yang mencolok. Pertama, rencana harga premium naik Rp 2.000 dan solar Rp. 1.000, tetapi subsidi BBM juga naik dari Rp. 194 trilyun menjadi Rp 210 triliun. Harusnya, ketika harga BBM naik alokasi subsidi BBM turun.

Kedua, lanjut Fadli, di RAPBN-P pendapatan negara turun dan alokasi belanja naik. Akibatnya terjadi defisit keseimbangan primer dan defisit total yang melebar dan memaksa  menambah utang. Pendapatan pajak turun Rp 53,6 triliun, sedangkan belanja naik Rp 39 triliun, dan belanja lain-lain naik Rp 53,6 triliun.

"Akibatnya defisit melebar dari Rp 153,3 triliun menjadi Rp 233,5 triliun," tutup Fadli. (Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya