Sejarawan Israel: Respons Barat atas Krisis Gaza Munafik dan Standar Ganda Kejam

Dukungan Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa terhadap, termasuk dukungan militer, dinilai membuat mereka terlibat dalam pembantaian massal oleh Israel di Jalur Gaza.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 31 Okt 2023, 16:36 WIB
Para pejabat kesehatan di Gaza mengatakan bahwa ada puluhan orang menjadi korban pengeboman di wilayah selatan. (Mahmud HAMS/AFP)

Liputan6.com, Ramallah - Negara-negara Barat memberi Israel jaminan dalam melakukan genosida di Jalur Gaza. Demikian pernyataan keras dari seorang sejarawan terkemuka Israel-Inggris dan profesor emeritus hubungan internasional di Universitas Oxford Avi Shlaim yang disampaikannya dalam forum diskusi 'The War on Gaza: What's Next for Palestine?' di London, Inggris, pada Senin (30/10/2023).

Dukungan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, termasuk dukungan militer, dinilai Shlaim membuat mereka terlibat dalam pembantaian massal oleh Israel di Jalur Gaza.

"Respons Barat terhadap krisis ini adalah kemunafikan dan standar ganda yang kejam, namun kali ini sudah pada level baru. Kecintaan Barat terhadap Israel selalu menyertai, selalu bergantung pada penghapusan sejarah Palestina dan kemanusiaan," ujar Shlaim, seperti dilansir Middle East Eye, Selasa (31/10).

"Kekhawatiran mendalam terhadap keamanan Israel selalu ditegaskan kembali oleh para pemimpin Barat - namun tidak ada satupun pemikiran terkait keamanan Palestina."

Shlaim lahir pada tahun 1945 di Baghdad dari orang tua yang memiliki koneksi baik dan merupakan bagian dari minoritas Yahudi berusia ribuan tahun di Irak. Pada usia lima tahun, Shlaim terpaksa melarikan diri bersama keluarganya, menyusul pengeboman yang menargetkan orang-orang Yahudi di ibu kota Irak.

Sebagai salah satu "sejarawan baru" di Israel, Shlaim disebut adalah bagian dari kelompok yang menilai kembali sejarah negara tersebut dan sering menyoroti penindasan terhadap orang-orang Palestina.

2 dari 4 halaman

Metafora Memotong Rumput

Perang Hamas-Israel pecah pada akhir pekan lalu. Serangan Hamas dilakukan secara tidak terduga. (MAHMUD HAMS/AFP)

Shlaim mengatakan bahwa perlawanan Palestina telah di-dekontekstualisasi dan di-dehistorisisasi dan bahwa liputan media dan politik mengenai kekerasan yang sedang berlangsung di Gaza sebagian besar mengabaikan situasi sebelum serangan Hamas di Israel selatan pada 7 Oktober.

"Konflik Israel-Hamas tidak dimulai pada 7 Oktober. Pada Juni 1967, Israel tidak hanya menduduki Gaza, tapi juga Tepi Barat dan Yerusalem. Ini adalah pendudukan militer yang paling berlarut-larut dan brutal di zaman modern," kata Shlaim.

"Para jenderal Israel punya ungkapan – memotong rumput. Ini adalah metafora yang mengerikan, artinya mereka tidak punya solusi terhadap masalah ini, tapi setiap beberapa tahun IDF bergerak dengan persenjataan paling canggih, mereka menghancurkan tempat itu (Gaza), menurunkan kemampuan militer Hamas ... ini adalah tindakan mekanis yang dilakukan secara berkala setiap beberapa tahun. Jadi, pertumpahan darah tidak akan ada habisnya dan perang berikutnya akan selalu terjadi."

3 dari 4 halaman

8.306 Warga Gaza Tewas Akibat Serangan Israel

Kehancuran terlihat jelas di seluruh Gaza, ketika warga Palestina mati-matian mencari korban yang selamat dan terpaksa berjalan melewati puing-puing yang tertinggal setelah pemboman Israel. (AP Photo/Ali Mahmoud)

Update otoritas kesehatan Gaza per Senin (30/10) sore menyebutkan bahwa total 8.306 warga Palestina tewas dalam pengeboman Israel sejak 7 Oktober, yang dipicu serangan Hamas pada hari itu yang menewaskan sekitar 1.400 warga Israel dan lebih dari 200 orang ditawan. Sekitar 70 persen warga Palestina yang terbunuh adalah perempuan dan anak-anak.

Kepala Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA) Philippe Lazzarini mengatakan dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Senin bahwa warga Palestina di Jalur Gaza yang terkepung menghadapi pengungsian paksa dan hukuman kolektif.

Dalam pertemuan yang sama pula, Direktur eksekutif UNICEF Catherine Russell menuturkan bahwa lebih dari 420 anak terbunuh atau terluka di Gaza setiap harinya.

"Karena kurangnya air bersih dan sanitasi yang aman, Gaza di ambang bencana," tutur Catherine, seraya menambahkan bahwa masyarakat berisiko terkena dehidrasi dan penyakit yang ditularkan melalui air.

Dia mengonfirmasi bahwa hanya ada satu pabrik desalinasi di Gaza yang beroperasi dengan kapasitas lima persen. Keenam instalasi pengolahan air limbah di Gaza saat ini tidak beroperasi.

4 dari 4 halaman

AS: Gencatan Senjata Untungkan Hamas

Dalam aksinya, pengunjuk rasa menyerukan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di tengah semakin banyaknya korban yang berjatuhan. (AP Photo/Aurelien Morissard)

Sementara itu, rumah sakit di Gaza telah mencapai titik puncaknya dan penuh sesak. Hampir 1,4 juta orang di Gaza kini menjadi pengungsi internal dan ribuan di antaranya mengungsi di rumah sakit.

Sejak Israel memutus aliran listrik, bahan bakar, dan air ke daerah kantong yang terkepung pada 9 Oktober, rumah sakit kewalahan karena kurangnya sumber daya yang dapat menyelamatkan nyawa, tingginya jumlah pasien yang terluka parah, dan ribuan orang mencari perlindungan.

Rumah sakit yang masih beroperasi masih menggunakan generator, yang menurut pejabat kesehatan tidak akan bertahan lama menyusul krisis bahan bakar.

Dengan kondisi sedemikian mendesak sekalipun, Presiden Joe Biden berulang kali menolak seruan gencatan senjata di Gaza. Namun, dia menyerukan agar bantuan diizinkan masuk ke wilayah kantong yang terkepung tersebut.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby menggarisbawahi pada Selasa bahwa pemberlakuan gencatan senjata saat ini hanya menguntungkan Hamas.

Infografis Perang Hamas Vs Israel Kembali Berkecamuk. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya