Bunyi Pasal yang Mengatur Hubungan Seks di Luar Nikah dan Kumpul Kebo Bisa Dipenjara

Aturan tentang larangan hubungan seks di luar nikah dan kumpul kebo ini tertuang dalam RKUHP yang rencananya disahkan hari ini, Selasa (6/12/2022).

oleh Asnida Riani diperbarui 06 Des 2022, 09:01 WIB
ilustrasi hubungan seks di luar nikah/copyright unsplash.com/HOP DESIGN

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) rencananya akan disahkan dalam rapat paripurna DPR hari ini, Selasa (6/12/2022). Dalam draft RUU-nya, salah dua pasal yang mendapat sorotan adalah soal aturan hubungan seks di luar nikah dan kumpul kebo.

Dalam revisi naskah RKUHP per 30 November 2022, sebagaimana diakses dari laman peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html, Senin (6/12/2022), itu tercantum dalam pasal 411 dan pasal 412.

Pasal 411 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II."

"(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan: a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan. b. Orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan," begitu penggalan ayat duanya.

Ayat tiga pasal itu menyatakan, "Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30." Terakhir, ayat empatnya berbunyi, "Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai."

Sementara, pasal 412 yang mengatur tentang kumpul kebo, pasal satunya berbunyi, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II."

"(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan: a. Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. Orangtua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan," sambung ayat dua pasal tersebut.

"(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30," ayat ketiga pasal tersebut berbunyi, sementara ayat empatnya menyatakan, "(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai."

 

2 dari 4 halaman

6 Isu Penting Lain

Suasana rapat kerja antara Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Edward Omar Sharif Hiariej dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022). Rapat tersebut membahas penyampaian penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi Pemerintah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tidak hanya dua pasal tersebut yang jadi sorotan dalam RKHUP. Melansir kanal News Liputan6.com, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Bayu Satria Utomo, menyebut masih banyak masalah di dalam RUU tersebut.

"Kami menemukan lebih dari 48 pasal bermasalah. 48 pasal ini bisa merugikan rakyat karena banyak hal," kata Bayu dalam keterangan persnya.

Ia dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP lalu memaparkan setidaknya ada enam isu krusial yang terkandung di dalam RKHUP. Pertama, soal pasal-pasal penghinaan presiden, lembaga negara, dan pemerintah.

Bayu menjelaskan, pas-pasal di dalam isu terkait merugikan rakyat karena membungkam suara untuk mengkritik kerja presiden, lembaga negara, dan pemerintah yang tengah berkuasa.  "Padahal, rakyat yang memilih mereka untuk berkuasa, rakyat pula yang membayar gaji mereka untuk bekerja," kritik Bayu.

Isu kedua, yakni pasal yang mengatur pawai dan unjuk rasa. Pasal ini dinilai merugikan rakyat karena menutup ruang masyarakat untuk berpendapat. Salah satu contoh nyata adalah Aksi Kamisan yang sudah 755 kali dilakukan. Aksi ini selalu tertib dilakukan dengan pemberitahuan, namun tetap kerap "dihalang-halangi dan dihambat."

3 dari 4 halaman

Pencemaran dan Perusakan Lingkungan

Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan Aksi Kamisan ke-755 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/12/2022). Dalam aksinya mereka meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan pasal bermasalah pada draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah mendapat persetujuan tingkat pertama oleh Komisi III DPR dan pemerintah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dela, warga Muara Baru Jakarta yang juga berprofesi sebagai paralegal, berkata, "Yang rakyat butuhkan adalah perlindungan terhadap kebebasan berpendapat. DPR dan pemerintah yang baik, buatlah pasal yang menghukum pelaku-pelaku yang menghambat kami berpendapat dengan tertib."

Selanjutnya, pasal tentang pencemaran dan perusakan lingkungan. Pasal ini menyulitkan pembuktian karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai derajat kerusakan lingkungan.

"DPR perlu memastikan bahwa tindak pidana lingkungan benar-benar dihapuskan dalam RKUHP karena kejahatan lingkungan adalah tindak pidana khusus yang tidak layak jadi substansi RKUHP," kata Satrio selaku perwakilan WALHI Eksekutif Nasional dalam siaran pers yang sama.

Isu keempat, pasal tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila. Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, kata-kata "yang bertentangan dengan Pancasila" sangat berbahaya. Pasalnya, tidak ada ukuran yang jelas untuk menilai seseorang bertentangan atau sejalan dengan Pancasila. 

Isu kelima, pasal tentang tindak pidana korupsi yang dinilai "sangat memihak penguasa." Dalam RKHUP, seluruh hukuman badan alias penjara dan denda untuk koruptor diturunkan.

 

4 dari 4 halaman

Isu Terakhir

Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan Aksi Kamisan ke-755 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/12/2022). Dalam aksinya mereka meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan pasal bermasalah pada draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang telah mendapat persetujuan tingkat pertama oleh Komisi III DPR dan pemerintah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Terakhir, pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat yang tadinya adalah tindak pidana khusus, oleh RKUHP akan diubah jadi tindak pidana umum. Tidak ada lagi keistimewaan dalam penindakan hukum pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum RKUHP disahkan tidak akan bisa dibawa ke proses hukum. 

"Maaf Bu Sumarsih, Maaf Para Korban 1965, Maaf Para Korban Pelanggaran HAM Berat, harapan kita yang sudah sangat tipis ini, akan hilang jika RKUHP bermasalah ini disahkan," kata Fatia Maulidiyanti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Di sisi lain, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menyebut bahwa penolakan dan demo terkait RKUHP adalah hak warga. Namun, ia menyarankan agar keberatan tersebut diajukan pada Mahkamah Konstitusi.

"Perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya nanti, saya mohon gugat saja di Mahkamah Konstitusi. Lebih elegan caranya," ia berkata.

Ia menyambung, sosialisasi sudah dilakukan di seluruh Indonesia dan terdiri dari berbagai lembaga. Yasonna juga menyebut bahwa pihaknya tidak bisa memastikan semua orang setuju. Namun, ia menilai KUHP saat ini jauh lebih baik daripada yang lama peninggalan Belanda.

"KUHP ini banyak yang reformatif bagus," sebutnya.

Infografis Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya