Larangan Ekspor CPO Harusnya Dongkrak Harga Sawit, Bukan Sebaliknya

Larangan ekspor CPO oleh pemerintah dinilai organisasi petani sawit, Samade, membuat harga sawit tidak anjlok tapi tetap bertahan.

oleh Syukur diperbarui 01 Mei 2022, 08:00 WIB
Pemuatan TBS sawit ke mobil untuk selanjutkan dibawa ke pabrik. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pekanbaru - Harga tandan buah segar (TBS) sawit langsung anjlok saat Presiden Jokowi mengatakan bakal menghentikan ekspor Crude Palm Oil (CPO), minyak goreng dan bahan bakunya pada 22 April 2022. Penurunan harga itu bahkan terus melorot hingga 60 persen dari harga semula.

Penurunan harga itu terus berlanjut saat Presiden Jokowi benar-benar resmi menyetop ekspor itu pada 28 April 2022. Larangan ini berlaku sampai harga minyak goreng kemasan benar-benar berada di angka Rp14 ribu per liter dan gampang didapat di mana saja.

Sejurus kemudian, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto merinci bahwa larangan ekspor itu berlaku untuk produk CPO, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO), Refined, Bleached and Deodorized Palm (RBDP) Olein, dan Used Cooking Oil.

Selanjutnya dihari yang sama pada 28 April 2022 itu, Menteri Perdagangan menguatkan larangan ekspor CPO dengan membuat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 tahun 2022 yang intinya sama dengan pernyataan Airlangga tadi.

Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Sawitku Masa Depanku (Samade), Abdul Aziz menyorot keputusan pemerintah ini. Dia menyatakan larangan ekspor ini telah membuka mata para petani sawit sawadaya tentang 'permainan' yang terjadi selama ini.

Azis menjelaskan, di dalam negeri ada tiga level pengusaha yang bersentuhan dengan CPO. Pertama adalah pengusaha yang punya PKS, kebun dan refinery (pabrik pemurnian). Kedua, pengusaha yang punya kebun dan punya PKS. Ketiga, pengusaha yang cuma punya PKS.

Menurut Aziz, pengusaha level satu dan dua mayoritas punya petani mitra, ada yang berbentuk plasma maupun KKPA. Kemudian ada juga kelompok petani tertentu yang setelah melalui proses panjang, kemudian dapat bermitra dengan perusahaan level satu atau level dua.

"Lalu pengusaha level ketiga, karena tidak punya kebun sendiri, bahan baku pabriknya 100 persen bergantung pada pasokan dari tengkulak," terang Aziz.

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Ekspor CPO

Di lapangan, terang Aziz, tengkulak punya sejumlah pengepul yang berhubungan langsung dengan petani swadaya. Dari ketiga model pengusaha tadi, pengusaha level pertamalah yang menjadi penentu karena dia yang punya refinery.

"Dan sebetulnya, mayoritas CPO dalam negeri sudah diolah di refinery. Kalaupun ada CPO yang diekspor, itu juga bisnis perusahaan yang punya refinery tadi. Bisa jadi CPO yang diekspor itu untuk pelanggannya yang memang butuh CPO, atau ke refinery perusahaan pengirim yang juga ada di luar negeri," terang Aziz.

Aziz kemudian menyodorkan data bahwa tahun 2021, ekspor CPO hanya sekitar 2,5 juta ton. Ini sedikit ketimbang produksi CPO dan CPKO yang mencapai 52 juta ton.

"Kenapa hanya sedikit, pertama lantaran sudah lebih banyak diolah menjadi turunan lain, ada 26 turunan yang rutin diekspor. Alasan kedua kenapa ekspor CPO sedikit, lantaran pengusaha keberatan dengan Pungutan Ekspor (PE) yang sangat besar yang mencapai lebih dari USD300 per ton," katanya.

3 dari 3 halaman

Manfaatkan Situasi

Kalau berdasarkan data yang ada, tegas Aziz, stop ekspor mestinya membuat harga TBS semakin tinggi. Sebab stop ekspor akan membuat kebutuhan minyak sawit dunia meningkat.

"Selama ini penentu harga TBS petani adalah harga CPO dunia tapi kenapa stop ekspor justru membuat harga TBS terjerembab?" tanya Aziz. Sebenarnya, tambah Aziz, harga TBS yang terjerembab itu hanya milik petani swadaya. Harga TBS petani mitra tetap normal.

"Kenapa ini bisa terjadi? Pertama bisa jadi ada penghentian pasokan dari pengusaha level tiga demi pengusaha level satu mengamankan pasokan CPO pengusaha level satu dan dua," terang Aziz.

"Atau, bisa pula spekulasi pengusaha level tiga yang ingin memanfaatkan situasi karena selama inikan refinery menerima semua produksi CPO yang ada. Sebab kapasitas terpasang refinery, mencapai 54 juta ton per tahun. Sementara produksi CPO dan CPKO hanya 52 juta ton per tahun," urai Aziz.

Aziz mengatakan, kalaupun terjadi penghentian ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng, lebih dari 20 turunan lain masih bisa diekspor.

"Jadi, komoditi yang bisa diekspor masih banyak, lagi pula kebutuhan dalam negeri kita juga sudah tergolong bengkak. Mencapai 18 juta ton, malah lebih. Sebab untuk kebutuhan pangan saja sudah 12 juta ton, belum lagi untuk biodiesel dan oleo kimia," katanya.

Apakah benar terjadi permainan atas harga TBS ini, menurut Aziz, tentu akan lebih baik penegak hukum turun tangan.

"Enggak sulit kok bagi APH mencari tahu ini. KPPU juga sebaiknya turun untuk mencari tahu sekental apa monopoli yang terjadi di industri sawit ini," pinta Aziz.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya