Cerita Guru Honorer di Garut Sukses Banting Setir Jadi Pengusaha Tusuk Sate

Budi Hermawan, seorang guru honorer di Garut banting setir menjadi pengusaha tusuk sate yang sukses. Ikuti kisahnya di sini.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 08 Apr 2022, 06:00 WIB
Budi Hermawan, 43 tahun, mantan guru hinorer di Garut, Jawa Barat, yang sukses banting setir menjadi pengusaha tusuk sate beromset puluhan juta setiap bulan. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Masa pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung dua tahun, mampu mengubah Budi Hermawan, 43 tahun, warga Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Garut, Jawa Barat, menjadi pengusaha tusuk sate beromzet puluhan juta setiap bulan.

Masih luasnya pasar dalam negeri terhadap kebutuhan tusuk sate dan sumpit, membuat mantan guru honorer di sekolah swasta ini, banting setir menjadi pengusaha tusuk sate.

“Saya dapat info kebutuhan tusuk sate dalam negeri ini 90 persen masih diimpor dari Cina, hanya 10 persen baru disuplai produksi dalam negeri,” ujarnya, saat ditemui di bengkelnya, Kampung Babakan Loa, Desa Karyamukti, Kecamatan Banyuresmi, Kamis (7/4/2022).

Menurutnya, kebutuhan tusuk sate meningkat setiap harinya, munculnya ragam produk olahan, terutama di kalangan masyarakat sunda, membuat permintaan terhadap tusuk sate sulit dipenuhi dengan optimal.

“Buat sate jelas sejak dulu, kini muncul tahu bulat, cibay, cilok, baso ikan dan lainnya, semunya menggunakan penusuk,” kata dia merinci tingginya kebutuhan tusuk sate.

Mendapat ajakan seorang rekannya sesama Guru, akhirnya sejak 2020 lalu, bermodalkan dua pegawai Budi mengawali usaha pembuatan tusuk sate, memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Saya baru menyuplai ke pasar Ciawitali dan Samarang, kebutuhan barang buat kedua pasar saja masih kurang,” kata dia.

Budi menyatakan, untuk menghasilkan tusuk sate yang bagus, dibutuhkan bambu tua dengan kadar air rendah. “Kalau bambu basah penyusutannya cukup tinggi,” kata dia.

Beberapa jenis bambu yang biasa ia gunakan yakni betung, bambu ikat hingga bambu temen dengan usia tua, sehingga kandungan airnya rendah.

Walhasil, ratusan ribu tusuk sate mampu ia produksi setiap tiap hari, tanpa mengendap gudang akibat tingginya permintaan pasar.

“Saya baru bisa produksi satu kuintal tusuk sate, itu masih kurang sebab kebutuhan sangat besar sekali,” kata dia.

Dengan harga Rp 14 ribu per kilogram atau sekitar Rp 1,4 juta omzet per hari, Ia sudah mampu menghidupi delapan pegawaianya saat ini, dari sebelumnya tiga pegawai dua tahun lalu.

“Kami tengah berupaya untuk menaikan produksi, namun terkendala di bahan baku karena saat ini musim hujan cukup tinggi,” ujar dia.

Di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini, Budi berharap rencana peningkatan produksi tusuk sate, mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, sehingga memberikan mata pancaharian baru bagi mereka.

“Banyak yang minta bekerja, namun persoalannya kesiapan bahan baku belum sepenuhnya terpenuhi,” kata dia.

 

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Budi Hermawan, 43 tahun, mantan guru hinorer di Garut, Jawa Barat, yang sukses banting setir menjadi pengusaha tusuk sate beromset puluhan juta setiap bulan. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)
2 dari 2 halaman

Hambatan dan Kendala

Ongokan limbah bambu bekas pengolahan tusuk sate dan sumpit di pabrik pengolahan tusuk sate 'Songsong Kahuripan' di Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Budi menyatakan, salah satu kendala yang kerap dihadapi dalam peningkatan produksi tusuk sate, adalah ketersediaan pohon bambu berusia tua sebagai bahan utama.

“Meskipun bambunya besar kalau muda apalagi basah kurang baik, sebab penyusutannya cukup tinggi,” kata dia.

Untuk menghasilkan tusuk sate yang berkualitas ukuran panjang 15 cm dengan diameter 2,5 mm, rata-rata kandungan air dalam batang pohon bambu berada di angka 6 persen.

“Maksimal saat tebang berada di angka 24 persen, sehingga saat kering kandungan airnya hanya 6 persen,” kata dia.

Sementara saat musim hujan berlangsung, rata-rata kandungan air pohon bambu mencapai 50 persen lebih, sehingga tingkat penyusutannya terbilang tinggi.

“Kalau kandungan air tinggi tusuk yang dihasilkan mudah berjamur dan tentu warnanya akan berubah,” ujar dia.

Walhasil, dengan proses pemilihan yang tepat, serta pemilihan bahan yang berkualitas, tusuk sate dan sumpit yang dihasilkan merk dagang 'Songsong Kahuripan' ini, mendapat respon positif pelaku usaha di pasar.

“Yang minta barang dari Subang, Cianjur hingga Serang banyak, tapi sayang belum bisa disanggupi,” kata dia.

Selain itu, persoalan limbah bekas pengolahan produksi tusuk sate, belum diolah secara optimal sehingga menimbulkan persoalan baru. “Saat ini kami hanya membakarnya, padahal potensi besar sekali,” ujar dia.

Ia berharap dengan naiknya produksi pabrik, seluruh permintaan yang masuk bisa segera dipenuhi dengan kualitas barang yang menjanjikan.

“Target terdekat kami adalah memperbanyak mitra, sehingga kami bisa lebih optimal meningkatkan produksi,” ujar dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya