Dilema Petani di Sumsel, Stop Bakar Lahan Namun Alami Kerugian

Petani di Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel mengalami kerugian karena tidak bisa membakar lahannya lagi.

oleh Nefri Inge diperbarui 02 Apr 2021, 02:52 WIB
Petani menanam padi di persawahan di kawasan Tangerang, Kamis (3/12/2020). Kementerian Pertanian menargetkan pada musim tanam pertama 2020-2021 penanaman padi mencapai seluas 8,2 juta hektare menghasilkan 20 juta ton beras. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Palembang - Jelang musim kemarau di bulan April 2021 mendatang, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) sudah menyiagakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, perkebunan dan lahan (karhutbunla).

Salah satu antisipasi yang terus digencarkan dari berbagai instansi, stakeholder dan perusahaan di Sumsel, yaitu meniadakan pembukaan lahan dengan cara membakar. Langkah tersebut juga diedukasikan kepada para petani yang memiliki lahan tanaman, seperti padi dan jagung.

Namun, imbauan ini seperti buah simalakama bagi para petani padi di Sumsel, terutama di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Tidak diperbolehkannya lagi membuka lahan dengan cara membakar, berdampak pada tingginya kebutuhan perawatan tanamannya.

Sutoyo (52), salah satu petani padi di Desa Nusakarta Jalur 27 Kecamatan Air Sugihan Kabupaten OKI Sumsel mengatakan, dia bersama petani padi lainnya mengalami panen yang anjlok.

Kendala yang dihadapi adalah kebutuhan pupuk yang tinggi, biaya operasional yang mahal hingga pengolahan lahan yang kurang bagus. Sehingga hasil panen padi menurun drastis.

“Sejak tidak boleh membakar, biaya membuka lahan bertambah. Dulu (rumput di lahan) disemprot dan bisa dibakar, sejak tahun 2016 tidak boleh bakar lagi,” ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (21/3/2021).

Biasanya, petani padi membutuhkan racun semprotan sebanyak 5 liter dan sehabis itu bisa langsung dibakar. Namun kini, harus disemprot hingga 3-4 kali, dengan biaya yang membengkak.

Lanjut, Koordinator Kelompok Tani Hutan (KTH) Desa Nusakarta ini, harga racun yang disemprotkan sebesar Rp 65.000 – Rp75.000 per liter.

Kendala lainnya yaitu harga pupuk yang tinggi di jeratan para tengkulak. Para petani awalnya dimudahkan dengan membayar biaya pupuk dan kebutuhan lainnya setelah panen, atau sering disebut yarnen.

“Tapi sekarang karena kualitas pengolahan yang jelek, kita hanya bisa memanen 3-5 ton padi per hektare. Padahal sebelumnya, bisa memanen 7 ton hingga lebih per hektare,” katanya di Sumsel.

Lalu, harga jual padi dan beras juga menurun. Biasanya harga padi bisa mencapai Rp4.000-an per Kg. Namun sekarang menurun di angka Rp3.600 per Kg. Lalu harga beras kini Rp7.500 per Kg dan Rp7.600 per Kg untuk beras putih.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

2 dari 3 halaman

Pendapatan Merosot

Sutoyo (52), salah satu petani padi di Desa Nusakarta Jalur 27 Kecamatan Air Sugihan Kabupaten OKI Sumsel menunjukkan beras hasil panennya (Liputan6.com / Nefri Inge)

Padahal dulu harganya bisa mencapai Rp8.000 hingga Rp8.500 per Kg. Harga tersebut diturunkan oleh pihak pengelola gudang penampung padi dan beras.

“Mulai terasa di 2018 lalu hingga tahun 2019 merosot. Begitu juga dengan jagung. Biasanya bisa panen 6-7 ton per hektare, sekarang menurun hingga 5 ton per hektare. Harganya juga sekarang Rp2.500 – Rp2.800 per Kg, dulu bisa mencapai Rp3.000 – Rp3.100 per Kg,” katanya.

Asnawi, Pendamping Desa Program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) APP Sinar Mas di OKI Sumsel mengungkapkan, setelah adanya sosialisasi dilarang membakar lahan di tahun 2016, sekitar 50 persen pembakaran di lahan petani sudah berkurang.

3 dari 3 halaman

Bantuan dari Perusahaan

APP Sinar Mas menjalani program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) dengan menggandeng para petani dan warga lainnya di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel (Liputan6.com / Nefri Inge)

Bahkan di tahun 2017 hingga 2020 kemarin, tidak ada lagi para petani yang membakar lahannya dan ada perubahan yang jauh lebih baik.

“Ada bantuan dari perusahaan melalui Bumdes. Berupa pupuk sebanyak 10 ton, kambing 20 ekor, bibit jagung 20 Kg, tata kanal air sepanjang 13 kilometer dan lainnya, untuk menghindarkan jeratan rentenir,” katanya.

Bahkan untuk mendapatkan tambahan pendapatan, para petani diajarkan membuat pupuk kompos. Yaitu dari sekam bakar, kotoran hewan dan rumput yang dicacah. Ini juga bisa digunakan untuk bercocok tanam lainnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya