Polisi Gelar Rekonstruksi Kasus Klinik Aborsi Ilegal di Percetakan Negara

Polisi menggelar rekonstruksi atau reka ulang praktik aborsi ilegal di sebuah klinik di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Sep 2020, 17:02 WIB
Kondisi bagian dalam sebuah rumah yang dijadikan klinik aborsi ilegal seusai penyegelan oleh polisi di Jalan Paseban Raya, Jakarta, Minggu (16/2/2020). Dari hasil praktik aborsi ilegal itu, tiga pelaku yang ditangkap telah meraup untung sekitar hampir Rp 5,5 miliar. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Polisi menggelar rekonstruksi atau reka ulang praktik aborsi ilegal di sebuah klinik di Jalan Percetakan Negara III, Jakarta Pusat. Reka ulang adegan itu digelar pukul 14.00 WIB, Jumat (25/9/2020).

10 tersangka yang terlibat dalam kasus klinik aborsi tersebut dihadirkan dalam rekonstruksi tersebut. 

"Hari ini, pukul 14.00 WIB  sepuluh tersangka melakukan rekonstruksi langsung di TKP," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus dalam keterangannya, Jumat.

Pada rekonstruksi tersebut para tersangka memperagakan beragam adegan. Mulai dari tahap perencanaan hingga pasca-aborsi.

"Iya langsung di tempat klinik ilegal itu supaya bisa memperjelas lagi dan membuat terang perkara ini karena 10 tersangka tersebut telah dilakukan berita acara pemeriksaan," ujar Yusri.

Sepuluh orang yang telah ditetapkan tersangka dalam kasus klinik aborsi ini, yaitu LA (52), DK (30), NA (30), MM (38), YA (51), RA (52), LL (50), ED (28), SM (62), dan RS (25). Mereka berperan mulai dari pemilik, dokter hingga petugas kebersihan klinik tersebut.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Jerat Pasal

Yusri mengatakan, sepuluh tersangka itu dijerat pasal berlapis, yaitu pasal 346 dan atau Pasal 348 ayat 1 dan atau Pasal 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A.

"Juncto Pasal 45A UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," ungkap Yusri.

 

Reporter: Rifa Yusya Adilah

Sumber: Merdeka

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya