Pengusaha Dukung Pemerintah Ungkap Kasus Karhutla

GAPKI memastikan semua anggotanya memahami dan taat pada regulasi pemerintah.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 21 Sep 2019, 13:00 WIB
Seorang petugas pemadam kebakaran berupaya melakukan pemadaman di tengah pekatnya asap kebakaran di Kampar, provinsi Riau pada 17 September 2019. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih terjadi membuat sejumlah wilayah di Provinsi Riau terpapar kabut asap. (ADEK BERRY / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendukung upaya pemerintah untuk melakukan penegakan hukum (litigasi) kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), termasuk penyelidikan terhadap anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran.

Selain litigasi, GAPKI mendukung sepenuhnya mitigasi pemerintah menuntaskan karhutla yang terjadi selama hampir 22 tahun dengan menerapkan kebijakan membuka lahan tanpa membakar (zero burning policy), membentuk divisi Fire Protection di perusahaan perkebunan serta bekerja sama dengan masyarakat membangun 560 desa siaga api.

Juru Bicara GAPKI Tofan Mahdi memastikan semua perkebunan sawit anggota GAPKI memahami dan taat  pada regulasi pemerintah dengan semangatnya untuk membangun sawit berkelanjutan melalui Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO).

 

Anggota GAPKI, kata Tofan, juga memahami bahwa tidak satupun regulasi di Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta instansi Pemerintah lain, yang memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar.

“Kalau ada korporasi yang sengaja membakar lahan, itu tindakan konyol sama dengan bunuh diri.Karena itu, semua pihak harus obyektif melihat persoalan ini,” kata Tofan di Jakarta, Sabtu (21/9/2019).

Tofan memastikan, sejak diberlakukan moratorium pembukaan lahan pada tahun 2011 hingga kini praktis tidak ada lagi ekstensifikasi lahan. Pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan setiap dua tahun inpres ini dperpanjang.

Bahkan pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas [Perkebunan Kelapa Sawit](https://www.liputan6.com/bi "").

“Inpres ini bertujuan untuk meningkatkan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, dan menjaga kelestarian lingkungan,” kata Tofan.

Kebijakan ini juga diperkuat dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 7 Agustus 2019.

“Ini berarti tidak ada lagi izin perkebunan sawit. Fokus pengusaha perkebunan saat ini adalah intensifikasi lahan melalui peremajaan (replanting), serta pengembangan bibit unggul agar produktivitas tinggi karena tidak ada perluasan lahan,” kata Tofan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Konsesi Perkebunan

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019, kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Sementara itu Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang GAPKI Eddy Martono berpendapat perkebunan sawit anggota GAPKI, dipastikan tidak berani membuka lahan dengan cara membakar karena risikonya tidak sepadan.

Terlebih pemegang konsesi termasuk perkebunan sawit dikenai prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Pasal 88 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pada sisi lain, biaya mekanisasi land clearance bagi perkebunan tidak signifikan hanya sekitar 10 persen atau sekitar Rp 6 juta per hektar dari investasi membuka lahan senilai Rp 60 juta-Rp 70 juta per hektar. 

“Terlalu riskan jika ada anggota GAPKI melakukan hal ini. Apalagi, prinsip strict liability bisa diberlakukan bagi perkebunan baik dengan sengaja atau tidak sengaja membakar lahan,” kata dia.

Hanya saja, Eddy memahami ada tudingan miring kepada GAPKI sebagai asosiasi perkebunan seolah-olah semua persoalan menjadi tanggung jawab GAPKI . Padahal,belum semua kebun sawit menjadi anggota GAPKI.

Hingga kini dari 3.000 perkebunan sawit di Indonesia perkebunan sawit yang terdaftar sebagai anggota baru mencapai 725 perusahaan dengan luasan 4,2 juta hektar. Dari perkebunan besar baru 50 persen yang menjadi anggota GAPKI. Masih ada 50 persen yang belum menjadi anggota GAPKI.

“Karena itu, kami mengharapkan semua perkebunan sawit masuk menjadi anggota GAPKI agar berbagai persoalan termasuk dalam industri ini termasuk menerapkan sawit berkelanjutan dalam setiap rantai pasoknya bisa diimplementasikan,” harap Eddy.

Melalui komitmen berkelanjutan itu, kata dia, berbagai perbaikan terus dilakukan termasuk  dari sisi pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Mengutip data Global Forest Watch (GFW) per 1 Januari 2019 hingga 16 September 2019 di seluruh Indonesia, kebakaran di dalam konsesi sawit mencapai  11 persen, sedangkan luar konsesi mencapai 68 persen. Di Riau dalam konsesi 19 persen dan diluar konsesi 51 persen, Jambi dalam konsesi 19 persen dan di luar konsesi 51 persen, Sumatera Selatan dalam konsesi 2 persen dan diluar konsesi 71 persen,   Kalimantan Barat dalam konsesi 26 persen dan di luar konsesi 53 persen, Kalimantan Tengah dalam konsesi 15 persen dan diluar konsesi 81 persen.

“Ini yang mendasari pernyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa konsesi perkebunan sawit dan HTI tidak terbakar ketika melakukan pemantauan udara di Riau beberapa hari lalu,” kata Eddy.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya