Penyederhanaan Tarif Cukai Rokok Dinilai Tak Tepat

Pemerintah berencana untuk menggabungkan golongan dalam industri rokok (simplifikasi).

oleh Septian Deny diperbarui 13 Sep 2019, 11:45 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati berpendapat, pasar bagi industri hasil tembakau, hanya bisa dikendalikan dengan regulasi yang tepat. Apabila regulasi tidak tepat, pasti akan kalah oleh mekanisme pasar.

Enny menambahkan, regulasi yang dimaksud mengacu pada rencana pemerintah menggabungkan golongan dalam industri rokok (simplifikasi).

Rencana tersebut pernah dicetuskan Kementerian Keuangan melalui PMK 146/2017. Dari 10 golongan yang ada, Kemenkeu berencana menguranginya menjadi delapan lalu lima dalam PMK tersebut.

Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas di Istana Bogor menjelang akhir tahun lalu, meminta PMK tersebut dihapus. Kemenkeu kemudian mengeluarkan PMK 156/2018, yang mempertahankan 10 golongan rokok.

"Indonesia memiliki beragam jenis rokok. PMK 156/2018 sudah sangat baik karena mengakomodir keragaman jenis tersebut, sehingga PMK tersebut layak untuk dipertahankan. Keragaman jenis rokok tadi juga berkaitan dengan serapan tembakau dalam negeri," tegas Enny di Jakarta, Jumat (13/9/2019).

Enny menegaskan, rencana simplifikasi harus mengakomodir keinginan pembuat regulasi dan para pelaku industri rokok. Termasuk di dalam pengakomodasian itu adalah besaran tarif cukai.

"Apabila kenailan cukai berlebihan, justru akan makin sulit mengendalikan karena konsumen akan lari ke rokok ilegal," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Produksi Turun, 32 Ribu Pekerja Industri Tembakau Dirumahkan

Industri rokok telah menyumbang kontribusi ekonomi terbilang besar. Tahun lalu saja, cukai hasil tembakau (CHT) mencapai Rp139,5 triliun.

Industri Hasil Tembakau (IHT) menyatakan, selama lima tahun terakhir jumlah pekerja pada mengalami penurunan secara signifikan, hal ini disebabkan penurunan produksi.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengatakan, selama lima tahun terakhir terdapat lebih dari 32 ribu pekerja yang dirumahkan.

“Jumlah tersebut adalah pekerja yang tercatat dalam organisas, yang tidak tercatat angkanya lebih besar,” kat Sudarto, di Jakarta, Selasa (28/5/2019).

Hal ini disebabkan penurunan produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT), dari 344,52 miliar batang pada 2014 menjadi 332,38 miliar batang pada 2018. Padahal, Kelompok Sigaret Kretek Tangan (SKT), yang menyerap paling banyak tenaga kerja pada sektor industri pengolahan tembakau, anjlok 11,86 persen.

Soedarto menjelaskan, pekerja di IHT yang kehilangan pekerjaan sebagian besar adalah pelinting SKT, umumnya pekerja tersebut adalah perempuan.

“Ketika mereka tidak lagi bekerja di pabrik rokok, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan baru, karena mereka sulit bersaing di bursa kerja karena faktor pendidikan,” ucapnya.

3 dari 3 halaman

Perlu Perhatian Pemerintah

Aris Sandi, petani tembakau di Desa Jatiguwi, Kabupaten Malang di depan hasil panennya (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding mengatakan SKT memerlukan perhatian oleh pemerintah agar SKT tetap tumbuh positif dan industri tersebut tidak semakin tergerus.

Dia berharap, SKT tetap menjadi pilar ekonomi bagi masyarakat, dimana SKT merupakan industri yang menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang besar.

"Kebijakan pro terhadap industri hasil tembakau harus ada, akan dirumuskan apakah kebijakan mengenai harga atau kebijakan-kebijakan lain yang mendukung industri ini,” tandasnya. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya