Mengungkap Gempa yang Bergerak Lamban di Bawah Permukaan Bumi

Ilmuwan mencoba menjelaskan tentang gempa yang bergerak atau bergetar perlahan di bawah tanah.

oleh Afra Augesti diperbarui 23 Agu 2019, 13:23 WIB
Gempa bumi California. (NASA/JPL-Caltech)

Liputan6.com, Jakarta - Bawah permukaan Bumi adalah tempat yang sangat aktif, di mana terdapat gerakan dan gesekan lempeng yang aktif yang membentuk lansekap dunia ini, serta mengatur intensitas risiko di atas tanah.

Meskipun pergerakan gempa bumi dan letusan gunung berapi telah direkam baik dengan menggunakan alat ukur khusus, dianalisis oleh para peneliti, dan dibatasi dengan persamaan matematika, tetapi fenomena alam ini tidak menjabarkan tentang lempeng yang bergerak di bawah kaki kita.

Selama dua dekade terakhir, munculnya sistem penentuan posisi global (advent of the global positioning system) --termasuk penerima sensor yang sangat sensitif, yang menangkap pergeseran milimeter-— membuat para ilmuwan sadar akan gempa bumi yang sulit untuk diuraikan.

Di antara gempa-gempa tersebut adalah yang disebut slow slip events atau gempa bumi yang bergerak lambat. Gempa ini terjadi selama berminggu-minggu tanpa diketahui oleh manusia atau alat pendeteksi sekali pun.

Slow slip events dilaporkan terjadi di seluruh dunia dan mungkin menjadi pemicu gempa bumi berskala besar.

Slow slip events terbesar berlangsung di zona subduksi, di mana satu lempeng tektonik menyelinap di bawah lempeng lain, yang pada akhirnya membentuk pegunungan dan gunung berapi selama jutaan tahun.

Simulasi komputer yang diproduksi oleh para peneliti di Stanford University dan diterbitkan secara daring pada 15 Juni di Journal of the Mechanics and Physics of Solids, menjelaskan pergerakan tersembunyi ini.

"Gempa bumi lambat adalah suatu fenomena yang menarik. Gempa bumi lambat begitu luas dan benar-benar sulit untuk dijelaskan, sehingga lindu ini menjadi teka-teki bagi kami, para ilmuwan yang ingin memecahkannya," kata co-author Eric Dunham, seorang associate profesor geofisika di Stanford's School of Earth, Energy & Environmental Sciences (Stanford Earth).

"Kami sudah tahu tentang gempa lambat selama hampir 20 tahun dan masih belum ada pemahaman yang baik tentang mengapa itu terjadi," imbuhnya, seperti dikutip dari situs phys.org pada Jumat (23/8/2019).

2 dari 3 halaman

Diam-diam, tapi Kuat

Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Bagi sebagian besar ilmuwan, fenomena alam ini sangat menantang untuk dijelaskan karena sifat gempa yang tidak stabil dan lamban.

Sesar tidak bergerak secara terus-menerus, melainkan bergeser secara berkala, berakselerasi, tetapi tidak pernah mencapai titik di mana getaran gempa mengirimkan gelombang seismik yang cukup besar untuk dideteksi manusia.

Meskipun sifatnya tersembunyi, gempa bumi lambat dapat bertambah. Dalam aliran es yang ada di Antarktika, gempa bumi lambat terjadi dua kali sehari.

Para peneliti berpendapat, perubahan gesekan menjelaskan seberapa cepat batuan di kedua sisi lempeng yang bertumbukan bergerak.

Dengan mengingat hal itu, ilmuwan menganggap slow slip events sebagai gempa bumi, dengan jenis gesekan yang dikenal sebagai rate-weakening yang membuat pergeseran secara fundamental tidak stabil.

Namun, banyak percobaan laboratorium yang bertentangan dengan gagasan itu. Di satu sisi, periset menemukan bahwa batuan dari daerah yang didatangi oleh gempa bumi lambat menunjukkan jenis gesekan yang lebih stabil, yang dikenal sebagai penguatan laju (rate-strengthening), yang secara luas dianggap menghasilkan pergeseran stabil.

3 dari 3 halaman

Hukum Fisika

Ilustrasi gempa bumi (Photo: AFP/Frederick Florin)

Sesar terbentuk pada batuan yang jenuh dalam fluida, membekalinya dengan sifat poroelastik, di mana pori-pori di bebatuan memungkinkan patahan mengembang dan berkontraksi, yang mengubah tekanan fluida.

"Kami tahu bahwa batuan punya sifat poroelastik dan kami ingin melihat apa akibatnya," kata Dunham.

"Kami tidak pernah berpikir itu akan memunculkan gempa bumi lambat dan kami tidak pernah berpikir hal tersebut akan mengacaukan sesar dengan jenis gesekan ini," imbuhnya.

Dengan simulasi-simulasi baru ini, yang menjelaskan sifat keropos bebatuan di bawah Bumi, tim ilmuwan menemukan bahwa ketika batu terjepit dan cairan tidak bisa lepas, tekanan meningkat. Peningkatan tekanan itu mengurangi gesekan, yang mengarah ke slow slip event.

Kini, para peneliti akan menciptakan simulasi tiga dimensi (3D) berdasarkan teori tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya