Polisi Georgia Bentrok dengan Demonstran Anti-Rusia, 30 Orang Terluka

Sebanyak 30 orang terluka setelah demonstran anti-Rusia terlibat kekerasan dengan polisi Georgia pada Jumat dini hari.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 21 Jun 2019, 16:00 WIB
Seorang demonstran tampak berlutut di hadpaan polisi setelah bentrok menyebabkan 30 orang terluka (AP/ Zurab Tsertsvadze)

Liputan6.com, Tbilisi- Polisi di Georgia menggunakan gas air mata, peluru karet, dan meriam air untuk menghentikan pengunjuk rasa, yang berusaha menyerbu parlemen negara itu pada Jumat dini hari.

Tindakan keras tersebut menyebabkan sembilan anggota polisi dan 30 warga sipil terluka, sehingga harus dirawat di rumah sakit, lapor media Georgia. 

Dikutip dari The Guardian pada Jumat (21/6/2019), kemungkinan jumlah korban luka akan meningkat dengan jumlah yang kemungkinan akan meningkat, kata David Sergeenko, penasihat perdana menteri setempat.

Ribuan orang berunjuk rasa sepanjang malam di luar gedung pemerintah Georgia di pusat ibu kota Tbilisi, setelah seorang perwakilan Rusia diizinkan untuk memimpin sesi parlemen pada hari Kamis.

Kemarahan itu dimulai setelah anggota parlemen Rusia, Sergei Gavrilov, diizinkan terlibat selama pertemuan para legislator dari negara-negara Kristen Ortodoks di Tbilisi.

Beberapa pemrotes membawa papan bertuliskan kata-kata kasar terhadao Rusia dan presidennya, Vladimir Putin.

2 dari 2 halaman

Demonstran Bertahan Hingga Dini Hari

Ilustrasi Foto Garis Polisi (iStockphoto)

Polisi menembakkan gas air mata ke kerumunan demonstran secara berkala selama berjam-jam, namun gagal membubarkan massa hingga Jumat dini hari.

Karena tidak mempan, polisi setempat pun menggunakan peluru karet dan meriam air.

Pada pukul 03.00 dini hari waktu setempat, ratusan polisi telah menutup daerah sekitar parlemen, tetapi beberapa ribu pengunjuk rasa tetap bertahan.

Demonstran juga dilaporkan berkali-kali melemparkan bom molotov, dan dalam satu kasus menghancurkan jendela mobil polisi.

Moskow dan Tblisi berperang pada 2008, di mana pemerintah Kremlin mengakui dua wilayah Georgia yang memisahkan diri, Ossetia Selatan dan Abkhazia, sebagai negara merdeka.

Georgia dan sebagian besar komunitas internasional menganggap wilayah de facto ditempati oleh Rusia.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya