Sri Mulyani: Ekonomi China Melambat Tak Ganggu Ekspor RI

Permintaan barang dari China dinilai bakal tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jan 2019, 17:40 WIB
Sri Mulyani pada rangkaian Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali. Dok: am2018bali.go.id

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perlambatan ekonomi China tidak berdampak signifikan terhadap ekspor Indonesia.

Permintaan barang dari negara tirai bambu tersebut dinilai bakal tetap berjalan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.

"Kalau RRT lambat bukan berarti demand barang-barang jasa ke kita menurun karena mereka akan jaga domestic demand nya," ujar Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (29/1/2019). 

Sri Mulyani mengatakan, China saat ini tengah menyeimbangkan kembali pertumbuhan ekonomi dengan mendorong permintaan dalam negeri. Adapun penyebab perlambatan ekonomi karena tekanan perang dagang dengan AS sejak setahun terakhir.

"Melambat bukan berarti bahwa domestic demand mereka turun, justru mungkin mereka melambat karena ekspor mereka menghadapi AS dan dunia yang lebih menurun dan investasi mereka sudah turun karena banyak akses capacity," ujar dia.

Hal lain, kata Sri Mulyani, meskipun ada penurunan permintaan barang dari Indonesia pemerintah akan tetap menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap tumbuh. Sebagaimana diketahui, ekspor merupakan salah satu penyusun pertumbuhan ekonomi selain investasi dan konsumsi.

"Kedua, kalau ada penurunan dari permintaan dalam hal ini adjustment. Kita dari Indonesia, kita harus tetap jaga kinerja pertumbuhan ekonomi kita dengan suasana eksternal yang tidak pasti itu, dengan fokus agar domestic demand kita tetap baik," tutur dia.

 

Reporter: Anggun P.Situmorang

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Imbas Perang Dagang, Ekonomi China Tumbuh Terendah dalam 28 Tahun

China | Foto: The China Times

Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China kena dampak melemahnya investasi dan goyahnya kepercayaan konsumen akibat perang dagang. Pertumbuhan 2018 pun menjadi terendah dalam 28 tahun.

Perlambatan ekonomi di China turut menambah kekhawatiran pada ekonomi dunia, dan dampaknya pada perusahaan seperti Apple dan pembuat mobil.

Dikutip Reuters, Senin 21 Januari 2019, berdasarkan data Badan Statistik Nasional di Tiongkok, pertumbuhan GDP kuartal keempat China tahun lalu menjadi paling lambat sejak krisis keuangan global. Bila dibanding kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi turun 6,4 persen dari 6,5 persen.

Alhasil, pertumbuhan setahun penuh China adalah 6,6 persen, atau terendah sejak 1990. Angka ini juga sesuai ekspektasi analis Reuters.

Pelambatan ini menjadi pertanda naiknya angka pengangguran dan meningkatnya kebutuhan stimulus ekonomi.

Nikkei Asian Review melaporkan, Beijing telah memberi insentif senilai 850 miliar yuan atau Rp 1.780 triliun (1 yuan = Rp 2.094). Proyek yang terutama mendapat fokus adalah China Railway.

Sementara, Komisi Pembangungan Nasional dan Reformasi mengungkapkan pemerintah China bertujuan memberi bermacam stimulus untuk memperkuat konsumsi. Di antara yang mendapatkannya adalah industri otomotif yang merupakan 10 persen dari GDP, serta peralatan rumahan.

Taktik Presiden Donald Trump menekan ekonomi China tampaknya berhasil. China dikabarkan sudah telanjur rugi akibat perang dagang. Bahkan, kerugian diprediksi bertambah. 

"Sudah jelas bagi saya bahwa China dapat menderita lebih banyak kerugian ketimbang Amerika Serikat, dan dari sini terlihat upaya pihak berkepentingan untuk berjuang lebih keras dan mengamankan sesuatu yang berarti," ujar John Woods, Chief Investment Officer Asia-Pacific, seperti dikutip South China Morning Post.

Ekonomi China juga sudah melambat di tengah terjadinya perang dagang. Pelambatan pertumbuhan ini berpotensi yang paling rendah dalam 28 tahun terakhir.

Credit Suisse memprediksi pertumbuhan ekonomi China melambat ke angka 6,2 persen tahun ini. Angka yang sama juga diprediksi Bank Dunia.

Menurut laporan Darkening Skies Bank Dunia, sejak 2016 pertumbuhan ekonomi China adalah 6,7 persen, 6,9 persen, lalu turun 6,5 persen di 2018 ketika perang dagang memanas. Sementara, satu area yang akan tumbuh di China adalah sektor teknologi yang turun 25 persen tahun lalu.

Dalam jalannya gencatan senjata ini, China pada Desember lalu sudah menurunkan tarif mobil. Sebelumnya, tarif impor mobil buatan AS sebesar 40 persen dan sekarang menjadi 15 persen.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya