Bantah Sandiaga, PDIP Beberkan Data Kesejahteraan Petani Versi BPS

Agustina menilai, impor gula saat ini terjadi karena pemerintah sebelumnya abai terhadap industri gula nasional.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Des 2018, 06:05 WIB
Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Petani tebu menuntut pemerintah segera menghentikan impor gula karena menyebabkan gula lokal tidak laku sehingga merugikan mereka. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR RI Agustina Wilujeng Pramestuti menampik pernyataan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02 Sandiaga Uno yang menyebut nasib petani saat ini, khususnya petani tebu makin sengsara. 

Politikus PDI Perjuangan ini justru menganggap kehidupan petani justru  makin sejahtera di era Jokowi. Untuk membuktikannya, dia pun meminta Sandiaga membuka data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan tingkat kesejahteraan petani semakin membaik.  

Menurut Agustina, berdasarkan data BPS, nilai tukar petani (NTP) kini menanjak. Hal itu menunjukkan bahwa kualitas produksi dan kesejahteraan petani tebu semakin membaik

"Itu menandakan penerimaan petani lebih besar dibandingkan pengeluaran sehingga dapat disimpulkan kehidupannya membaik. Misalnya target produksi gula 2,5 juta ton pada tahun 2019 melalui upaya penambahan luas tanam tebu dan mendorong investasi," ucap Agustina di Jakarta, 1 Desember 2018.

Menurut Agustina, usaha itu amat berpengaruh terhadap kesejahteraan petani tebu sebagai sumber komoditas gula.

Strategi lainnya yang ikut mendongkrak kesejahteraan petani tebu adalah sistem beli putus tebu. Agustina beranggapan, cara beli putus adalah sistem bagi hasil, sehingga nantinya bakal membuat penghasilan petani tebu lebih jelas.

"Presiden Jokowi memang konsisten mewujudkan kedaulatan pangan, salah satunya masalah gula," ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan itu.

Terkait masih terjadinya impor gula saat ini, Agustina mengatakan, hal itu terjadi bukan karena kebijakan Presiden Jokowi saat ini. Namun, karena pemerintah sebelumnya abai dengan perkembangan industri tebu.

"Pemerintahan masa lalu membiarkan industri tebu nasional tanpa melakukan upgrading teknologi yang masih menggunakan mesin masa penjajahan. Sehingga rendemen gula rendah, petani harga beli tebunya ditentukan oleh rendemen, dan amat tidak diuntungkan," kata Agustina.

Dia menampik tudingan yang mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini tidak memperhatkan nasib petani tebu.

Justru, menurutnya, telah ada visi misi peningkatan produksi komoditas pertanian yakni Upsus lima jenis pangan, dan salah satunya adalah gula sebagai penjabaran swasembada pada Nawacita Joko Widodo.

2 dari 2 halaman

Kontrak Politik Sandiaga

Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Bulog hanya membeli sekitar 100 ribu ton, sehingga sebagian petani terpaksa menjual gula dengan harga di bawah Rp 9.000 per Kg. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno belum lama ini di Lumajang, Jawa Timur, melakukan kontrak politik dengan petani tebu.

Ada tujuh masalah dalam kontrak politik itu yang dituntut segera diselesaikan menyangkut kondisi gula nasional, yaitu stop impor gula seperti yang dilakukan rezim sekarang; siap memberantas mafia pangan utamanya sektor gula; subsidi pupuk, alat-alat pertanian; revitalisasi pabrik gula pelat merah; memberikan kredit lunak dan ringan pada petani tebu; menghapus monopoli penjualan gula; serta memperbaiki tata niaga gula.

Sandiaga berpendapat, pemerintah tidak berpihak kepada petani tebu sehingga membuat pergulaan nasional carut marut.

"Pemerintah seharusnya hadir dan melindungi para petani, bukan membuka keran impor yang merugikan petani," kata Sandiaga dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Minggu, 25 November 2018

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya