DPR Kritik Rupiah Anjlok, Begini Jawaban Sri Mulyani

Pemerintah diminta jujur dan terbuka mengenai kondisi ekonomi saat ini, di mana kondisi ekonomi global yang bergejolak selalu dituding menjadi penyebab rupiah terdepresiasi.

oleh Merdeka.com diperbarui 04 Sep 2018, 16:00 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Menkumham Yasonna Laoly saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, Selasa (4/9). Rapat kerja membahas penyampaian pokok-pokok RUU APBN 2019 serta pembentukan Panja dan tim perumus. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta DPR mengkritik pemerintah karena kondisi rupiah yang saat ini menyentuh level 14.800 per Dolar Amerika Serikat (AS).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menegaskan pemerintah bersama Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Hal tersebut dilakukan agar perubahan nilai tukar rupiah mencerminkan fundamental ekonomi yang menopangnya dan fleksibilitas rupiah dapat dikelola dan diserap perekonomian dengan baik.

"Kami akan terus mewaspadai pergerakan nilai tukar rupiah yang dipicu oleh sentimen global dan perubahan kebijakan negara Amerika Serikat," kata Menkeu Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Selasa (4/9/2018).

Selain itu, dia juga menegaskan BI dan OJK akan terus menjaga sistem keuangan dan fungsi intermediasi agar tetap stabil dan tahan terhadap guncangan global.

"Dalam rangka mitigasi dan antisipasi terhadap risiko nilai tukar rupiah, pemerintah dan BI akan menyiapkan dan memanfaatkan kerja sama regional dan global untuk memperkuat instrumen second line of defense," ujarnya.

Dia juga menjelaskan dalam konteks yang sangat dinamis, penetapan asumsi nilai tukar tahun 2019 menjadi tantangan yang tidak mudah karena harus mencerminkan kombinasi antara faktor fundamental yang menopang nilai Rupiah, tetapi juga harus antisipasif terhadap sentimen pasar yang mudah berubah.

Dia menyatakan pemerintah akan menggunakan seluruh instrumen kebijakan, baik instrumen fiskal maupun instrumen kebijakan struktural, untuk terus melakukan penguatan struktur perekonomian Indonesia dengan memperkuat sektor industri manufaktur yang mampu menghasilkan devisa serta mengurangi impor, terutama impor barang konsumtif.

"Juga mendukung pariwisata, sehingga neraca perdagangan dan transaksi berjalan menjadi kuat," ujar dia.

Sementara itu, perbaikan iklim investasi juga dilakukan agar dapat menarik arus modal dari luar dengan tujuan untuk memperkuat neraca modal, sehingga neraca pembayaran akan semakin kokoh yang akan menopang stabilitas nilai tukar rupiah.

"Pemerintah juga terus memperkuat basis investor dalam negeri dan melakukan pendalaman pasar keuangan, sehingga stabilitas nilai surat berharga pemerintah dapat dijaga."

Sebelumnya, Anggota fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, mengkritisi pemerintah yang selalu mengatakan bahwa kondisi ekonomi baik-baik saja meski rupiah hampir mendekati level 15.000.

Padahal, menurut dia, kondisi tersebut sudah mengkhawatirkan. Terlebih saat ini impor pangan cukup tinggi, di antaranya komoditas kedelai, jagung, gula, hingga beras.

"Hampir seluruh komoditas kita impor dan ini menurut saya terlalu memprihatinkan dan selalu Pak Presiden menyampaikan kurs dolar terjadi menguat di beberapa negara. Memang benar, tapi kondisi di Indonesia yang terparah," kata Bambang di Gedung DPR RI, Selasa (4/9).

Bambang meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan hal tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Di kehidupan masyarakat ini sangat memberatkan dan tolong Menkeu (Sri Mulyani) sampaikan kepada Presiden (Jokowi) agar impor dikurangi, bukan malah ditambah," ujarnya.

Senada, Michael Wattimena, Anggota Fraksi Partai Demokrat, menyampaikan pemikirannya mengenai kondisi rupiah saat ini.

Dia menjelaskan, Indonesia punya sejarah pahit mengenai krisis moneter, yaitu yang terjadi 20 tahun silam, tepatnya tahun 1998.

"Indonesia ini adalah negara yang besar. Kita punya pengalaman yang pahit pada 1998 di mana Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi," ujarnya.

Dia menegaskan, hal tersebut jangan sampai terulang kembali. Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah segera melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasinya. Sebab, saat ini rupiah sudah mulai merangkak ke level 14.500.

"Kami sangat mencintai Indonesia dan memiliki pengalaman pahit di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi," ujarnya.

Dia meminta pemerintah jujur dan terbuka mengenai kondisi ekonomi saat ini, di mana kondisi ekonomi global yang bergejolak selalu dituding menjadi penyebab rupiah terdepresiasi.

Padahal, lanjutnya, dalam nota keuangan yang disampaikan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2018 terkait RAPBN 2019 Rupiah diasumsikan 14.400.

"Nilai tukar yang diasumsikan meningkat. Jadi kondisi ini, tolong Menkeu jelaskan secara jujur keadaan ekonomi saat ini. Sebab, kita tidak ingin dalam situasi 1998 yang mengalami krisis ekonomi. Nota keuangan saja yang disampaikan oleh Presiden Rupiah berada pada mendekati 14.800, padahal hari ini sudah ingin mencapai 14.900, untuk itu saat Ibu menjelaskan, kami mohon Ibu menjelaskan secara jujur. Saya pikir janganlah kita kaitkan masalah-masalah ini dengan negara lain yang tidak ada kaitannya," dia menandaskan.

 

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

2 dari 2 halaman

Menko Darmin: Jangan Bandingkan Rupiah Saat Ini dengan Krismon 1998

Menko Perekonomian Darmin Nasution bersama sejumlah menteri memberi keterangan pers RAPBN 2019 di Media Center Asian Games, Jakarta, Kamis (16/8). Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan perhatian utama pada 2019. (Liputan6.com/Fery Pradolo)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meminta masyarakat untuk tidak membandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis 1998. Sebab, kondisinya sangat jauh berbeda.

Darmin mengatakan, meski nilai tukar rupiah sama-sama tembus Rp 14 ribu, posisi awal rupiah jauh berbeda. Pada 1998, rupiah tembus Rp 14 ribu setelah sebelumnya berada di posisi Rp 2.800 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Gini deh, jangan dibandingkan Rp 14 ribu sekarang dengan 20 tahun lalu. Pada 20 tahun lalu berangkatnya dari Rp 2.800 ke Rp 14 ribu. Sekarang dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu. Tahun 2014, dari Rp 12 ribu ke Rp 14 ribu. Maksud saya, cara membandingkan juga, ya dijelaskan-lah. Enggak sama kenaikan dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu sekian dengan dari Rp 2.800," ujar dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/9/2018).

Dia mengaku heran dengan pihak-pihak tertentu yang selalu membanding-bandingkan nilai tukar rupiah saat ini dengan saat krisis.

"Saya heran itu ada artikel di salah satu pers internasional yang membandingkan itu tembus angka terendah 1998-1999. Eh, persoalan tahun 1998 itu enam kali lipat itu," kata dia.

Darmin menyatakan, saat ini kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pada 1998. Meski saat ini salah satu kelemahan yang dialami Indonesia, yaitu soal transaksi berjalan yang defisit.

"Kita fundamental ekonomi masih oke. Kelemahan kita hanya transaksi berjalan yang defisit, berapa? 3 persen. Lebih kecil dari 2014, yaitu 4,2 persen. Masih lebih kecil dari Brasil, Turki, Argentina, itu-lah. Betul, kita lebih kecil. Coba yang lain, inflasi. Di Argentina berapa? Sekarang 30 persenan, setahun yang lalu 60. Kita gimana? Malah deflasi. Pertumbuhan, oke kita 5 koma persen," jelas dia.

Oleh sebab itu, jika dilihat dari sisi mana pun, kata dia, kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan 1998.

"Dilihat dari sudut mana pun. Meski pun kita ada defisit transaksi berjalan, ini bukan penyakit baru. Dari 40 tahun yang lalu transaksi berjalan ini defisit. Memang ini agak besar, tapi enggak setinggi 2014, tahun 1994-1995, tidak setinggi 1984. Tolong membacanya, membandingkannya yang fair," tandas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya