Pakar PBB Keluhkan Tak Adanya Pemantau di Rakhine

Pakar PBB kecewa karena tidak adanya akses ke negara bagian Rakhine, Myanmar.

oleh Liputan6.com diperbarui 31 Mei 2018, 11:05 WIB
Anak-anak pengungsi muslim Rohingya menunggu bantuan makanan di kamp pengungsi Thankhali di Distrik Ukhia, Bangladesh, (12/1). Mereka melarikan diri bersama orangtuanya saat konflik pecah di Myanmar. (Munir UZ ZAMAN/AFP)

Liputan6.com, Naypyidaw - Pakar PBB mengenai dampak konflik pada anak-anak, Virginia Gamba, pada hari Selasa, 29 Mei mengatakan rasa kecewa tidak adanya akses ke negara bagian Rakhine, Myanmar, di mana kekerasan yang digerakkan tentara memaksa 700 ribu muslim Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh sejak Agustus lalu.

"Angka yang kami peroleh tentang pembunuhan, penyiksaan serta kekerasan seks yang terjadi sungguh mengenaskan. Yang lebih mengenaskan lagi kami tidak dapat melihat keadaan sebenarnya akibat tidak ada pemantau, " kata Virginia Gamba kepada wartawan di Yangon, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (31/5/2018).

Gamba wakil khusus Sekretaris Jenderal PBB urusan anak-anak dan konflik bersenjata. Dalam kunjungan dua hari di Myanmar ia menemui pemimpin negara itu Aung San Suu Kyi, panglima militer Jenderal senior Soe Win serta petinggi lain.

Gamba mengatakan, ia meminta kepada pemerintah Myanmar mengizinkan delegasinya pergi ke negara bagian Rakhine dan ia berpendapat permintaan itu akan dipenuhi dalam beberapa pekan ke depan.

Dalam pertemuan dengan para petinggi Myanmar, Gamba menekankan tiap pengungsi yang pulang haruslah atas kemauan sendiri. Bangladesh dan Myanmar sudah sepakat memulai pemulangan Rohingya dari penampungan yang penuh sesak di Bangladesh. Namun banyak pengungsi mengatakan mereka takut akan menghadapi keadaan tidak aman dan tidak bebas jika pulang.

Tahun 2012 militer dan pemerintah Myanmar menandatangani Rencana Aksi Bersama untuk menghentikan perekrutan dan penggunaan anak-anak dalam Angkatan Bersenjata. Tidak lama kemudian lebih dari 840 anak dibebaskan dari tugas militer. Aspek lain dari Rencana itu masih belum sepenuhnya dilaksanakan dan perlu dipercepat.

Tentara Myanmar telah dituduh melakukan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, kerja paksa, perkosaan dan pelanggaran lain terhadap banyak kelompok masyarakat minoritas di negeri itu. Dewasa ini ada lebih dari 20 kelompok etnis bersenjata yang aktif di sana.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya