Lokasi Konflik Warga dan Harimau Bonita Ternyata Kampung Harimau

Perkampungan tempat warga berkonflik dengan harimau Bonita merupakan jalur lintas harimau sejak dulu. Namun, warga membuka lahan di tengah hutan.

oleh M Syukur diperbarui 14 Mar 2018, 13:32 WIB
Setelah Jumiati, karyawati perusahaan sawit pada awal Januari lalu, kini buruh bangunan bernama Yusri yang menjadi korban keganasan harimau di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. (M Syukur/Liputan6.com)

Liputan6.com, Pekanbaru - Manakah yang paling penting, nyawa manusia atau harimau? Pertanyaan itu kerap muncul ketika terjadi konflik antara manusia dan kucing besar itu.

Terkadang dalam konflik ini muncul ungkapan tak ada nyawa manusia seharga nyawa harimau. Namun, pendapat itu tak bisa dibenarkan sepenuhnya mengingat keberadaan si datuk belang di ambang kepunahan.

Apalagi, konflik sering kali bermula dari rusaknya habitat harimau akibat pembukaan lahan perkebunan atau pembukaan lahan hutan untuk perkampungan di jalur lintas harimau sejak lama.

Konflik di Dusun Danau, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, misalnya. Dulunya, kampung itu merupakan habitat harimau dan sudah dibenarkan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.

"Kampung ini merupakan habitat harimau, bisa dibilang kampung dalam hutan," kata Kabid Wilayah I BBKSDA Riau, Mulyo Hutomo, dikonfirmasi di Pekanbaru, Selasa siang, 13 Februari 2018.

Pendapat serupa diutarakan oleh aktivis WWF Bidang Konservasi Harimau, Soemantri. Dia menyebut wilayah tersebut merupakan bagian konservasi Kerumutan yang menjadi habitat harimau. Konflik muncul setelah lahan dibuka dan perkampungan berdiri.

"Ini bukan pertama kali terjadi di Riau, sejak tahun 2000 konflik (antara manusia dan harimau) itu sudah ada ketika dibukanya lahan perkebunan," katanya, Selasa malam.

Soemantri berpendapat pembukaan lahan yang berlangsung sejak dahulu mengabaikan keberadaan harimau. Namun, karena sudah telanjur, masyarakat kini membutuhkan rumusan bagaimana hidup di kawasan harimau.

"Cara menghadapi tanpa membahayakan diri dan harimau itu sendiri. Ini perlu dirumuskan," kata Soemantri.

 

 

2 dari 2 halaman

Masyarakat Harus Terlibat

Setelah Jumiati, karyawati perusahaan sawit pada awal Januari lalu, kini buruh bangunan bernama Yusri yang menjadi korban keganasan harimau di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. (M Syukur/Liputan6.com)

Terkait tenggat waktu tujuh hari agar harimau Bonita ditangkap dan kalau lewat akan dibunuh, Soemantri menyebutnya bukan solusi. Hal itu dinilai sebagai pembenaran pembunuhan harimau. Bila dibiarkan, ia takut hal itu menjadi kebiasaan bila konflik terjadi lagi.

"Menangkap harimau itu tidak semudah menangkap kucing. Penembakan bius juga tidak sembarangan dilakukan," kata Soemantri.

Bius harus dilakukan secara aman dan perhitungan matang. Arah larinya harimau setelah ditembak harus dikaji supaya tak membahayakan petugas dan mamalia itu sendiri.

"Kalau ditembak kemudian masuk ke sungai, terbawa arus, harimaunya mati, ini menjadi masalah baru lagi. Aspek keamanan tim juga diperhatikan, selain keselamatan harimau," ujar Soemantri.

Sejak konflik di Dusun Danau terjadi, WWF melalui Soemantri menilai BBKSDA sudah bekerja sesuai SOP. Masyarakat, kepolisian, medis, serta instansi lainnya juga demikian.

"Masyarakat yang emosi ini perlu dilibatkan juga supaya tahu kondisi dan melihat langsung apa yang dirasakan," kata Soemantri.

Soemantri berharap dengan penambahan personel di lokasi, harimau Bonita segera tertangkap, sehingga tak ada korban lagi.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya