1,1 Miliar Penduduk Dunia Tidak Memiliki Identitas Resmi

Sebanyak 1,1 miliar penduduk dunia hidup dalam kesulitan karena tidak memiliki identitas resmi. Ini alasannya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 21 Feb 2018, 06:27 WIB
Negara Malawi yang ada di Afrika ini mengalami krisis parah.

Liputan6.com, London - Di seluruh dunia, diperkirakan sebanyak 1,1 miliar orang tidak bisa membuktikan identitas resminya. Tidak ada kartu tanda penduduk (KTP), paspor, akte kelahiran, maupun data perbankan.

Sebagai akibatnya, banyak orang kesulitan mendapat akses layanan dasar, seperti layanan kesehatan misalnya.

Dilansir dari laman CNN pada Selasa (20/2/2018), laporan Bank Dunia menyebut mayoritas 'masyarakat tidak terlihat' ini tinggal di benua Afrika dan Asia, serta sisanya merupakan anak-anak.

Melihat permasalahan tersebut, sebuah firma teknologi di Inggris menghadirkan sebuah solusi bertajuk Simprint.

Solusi itu memanfaatkan pemindai sidik jari untuk membantu mengumpulkan identitas kependudukan di berbagai komunitas masyarakat miskin di seluruh dunia.

Setiap penduduk yang sidik jarinya telah dipindai, sebuah algoritma kemudian mengubahnya menjadi identitas unik, di mana dapat disambungkan ke catatan kesehatan publik.

Nantinya, para petugas kesehatan dapat mengakses informasi identitas kependudukan dan memperbarui catatan kesehatan pasien melalui aplikasi pada ponsel ataupun tablet.

"Melalui pengaplikasian teknologi biometrik, berbagai program kemanusiaan dan agenda amal dapat menjangkau komunitas masyarakat yang lebih luas, bahkan hingga ke kawasan terpencil," jelas pendiri Simprint, Alexandra George, kepada CNN.

 

Simak video menarik tentang kesulitan mantan Presiden Afrika Kesulitan mengucap sebuah kalimat dalam bahasa Inggris berikut:

2 dari 2 halaman

Upaya Pemerataan Layanan Kesehatan

Ilustrasi mata manusia. Tampak cincin limbal mengelilingi bagian iris mata. (Sumber Wikimedia Commons)

Pemanfaatan teknologi besutan Simprint telah dilakukan di Kenya belum lama ini. Sebuah tim berisikan gabungan tenaga medis dan relawan telah berhasil merangkum sekumpulan data biometrik, di mana hal itu merupakan pertama kalinya dalam sejarah negeri tersebut.

Menurut kepala departemen teknologi pada lembaga amal kesehatan COHESU, Nicholas Mwaura, pemanfaatan teknologi biometrik memberi peluang pemerataan layanan kesehatan kepada masyarakat.

"Kesulitan akses layanan kesehatan akibat tidak lengkapnya identitas kependudukan, merupakan momok bagi banyak negara berkembang. Melalui penggunaan teknologi biometrik, diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang terpaksa berdiam diri di rumah, meratapi takdir," jelas Mwaura.

Progres percobaan yang dilakukan di Kenya telah menunjukkan hasil yang cukup baik, dan diharapkan mampu menaikkan aksesibilitas layanan kesehatan setempat hingga 40 persen hingga 2020 mendatang.

"Setelah Kenya, kami akan segera menerapkan teknologi Simprint di negara-negara berkembang lainnya di Afrika dan Asia," lanjut Nwaura.

Meski terkesan revolusioner di bidang layanan kesehatan di negara-negara berkembang, pemindaian sidik jari bukanlah teknologi baru di perkembangan biometrik.

Saat ini, berbagai firma teknologi tengah berusaha menemukan teknologi pemindai terbaru, yang dapat memberikan keamanan tingkat tinggi pada penyimpanan berbagai jenis data.

Bukan tidak mungkin di masa depan, wajah, pupil mata, atau bahkan detak jantung dapat digunakan sebagai identitas untuk melakukan berbagai hal.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya