Paus Fransiskus Temui Panglima Militer Myanmar, Bahas Rohingya?

Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menegaskan tidak ada diskriminasi agama di negaranya.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Nov 2017, 07:21 WIB
Seorang anak perempuan bersalaman dengan Paus Fransiskus saat menyambut kedatangannya di Bandara Internasional Yangon, Myanmar (27/11). (AFP Photo/Vincenzo Pinto)

Liputan6.com, Naypyidaw - Pertemuan dengan Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing menjadi agenda pertama Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Myanmar. Pemimpin umat Katolik dunia itu mendarat di Yangon pada Senin sore.

Jenderal Min Aung Hlaing dianggap sosok yang paling bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga Rohingya.

Kedatangan Paus Fransiskus ke Myanmar sendiri bertujuan untuk memperkuat komunitas Katolik yang kecil di negara tersebut. Namun, para aktivis HAM berharap, kesempatan yang sama akan digunakannya untuk memberikan tekanan diplomatik terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi atas tindakan keras militer terhadap etnis minoritas Rohingya.

Seperti dikutip dari telegraph.co.uk pada Selasa (28/11/2017), Paus Fransiskus bertemu dengan Jenderal Min Aung Hlaing selama 15 menit di Katedral St Mary's di Yangon. Agenda berikutnya, ia dijadwalkan akan bertemu dengan Aung San Suu Kyi.

Greg Burke, juru bicara Vatikan, mengatakan, "Mereka bicara tentang tanggung jawab otoritas negara pada masa transisi."

Lebih lanjut, Burke menuturkan bahwa Paus Fransiskus memberi hadiah berupa sebuah medali kepada Jenderal Min Aung Hlaing sementara. Adapun sang jenderal menghadiahkannya harpa berbentuk perahu dan mangkuk berukir.

Melalui laman Facebooknya, Jenderal Min Aung Hlaing menuliskan bahwa ia menyampaikan kepada Paus Fransiskus, "tidak ada diskriminasi agama" di Myanmar, sebuah negara dengan mayoritas penganut Buddha.

"Sama sekali tidak ada diskriminasi agama di Myanmar. Demikian juga dengan militer kami ... (mereka) ada untuk perdamaian dan stabilitas negara," tulis Jenderal Min Aung Hlaing.

Operasi militer di negara bagian Rakhine, Myanmar, telah memicu lebih dari 620 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. Hal ini telah berlangsung sejak Agustus 2017.

Para pengungsi menggambarkan bahwa mereka melarikan diri dari sebuah kampanye sistematis berupa pembakaran rumah, pemerkosaan, dan pembunuhan yang dilakukan oleh militer Myanmar dan warga sipil. Penyerang berdalih, operasi militer dilakukan dengan tujuan menargetkan kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).

Bagaimanapun, sejumlah pihak termasuk PBB menilai, yang terjadi di Rakhine merujuk pada unsur-unsur pembersihan etnis.

Jauh sebelum menginjakkan kaki di Myanmar, Paus Fransiskus sudah bicara tentang penderitaan warga Rohingya. Ia menyebut mereka sebagai "saudara dan saudari kita".

Sebelum bertolak ke Myanmar, di hadapan 30 ribu orang di lapangan St Peter, Paus Fransiskus mengatakan, "Saya meminta Anda berdoa bersama saya, bagi mereka, kehadiran saya menandai afinitas dan harapan."

Dari Myanmar, Paus Fransiskus akan melanjutkan lawatannya ke Bangladesh. Di sana ia dijadwalkan bertatap muka dengan delegasi Rohingya.

Mark Farmaner dari kelompok pemantau HAM, Burma Campaign UK, menyambut baik kunjungan Paus Fransiskus ke Myanmar. Namun, ia mengingatkan untuk tidak berharap terlalu tinggi.

"Paus tidak akan pernah bisa mengubah pikiran jenderal tentang Rohingya," ungkap Farmaner.

Terdapat sekitar 700 ribu umat Katolik di Myanmar atau jumlah mereka sekitar lebih dari satu persen dari 51 juta penduduk di negara itu. Dan sekitar 200 ribu di antaranya diperkirakan akan tiba di Yangon untuk menghadiri misa terbuka pada Rabu waktu setempat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya