Kata JK soal India Metals yang Gugat Pemerintah Rp 7,7 Triliun

Perusahaan ini menggugat pemerintah senilai Rp 7,7 triliun atau sekitar US$ 581 juta.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 22 Agu 2017, 18:00 WIB
Wapres RI, Jusuf Kalla (kedua kanan) didampingi Ketua Umum Presidium AMSI Wenseslaus Manggut (kedua kiri) resmi membuka kongres pertama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta, Selasa (22/8). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia harus berhadapan dengan forum arbitrase internasional di Permanent Coirt of Arbitration di Den Hag dalam Kasus melawan India Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA), sebuah perusahaan berbadan hukum India. Perusahaan ini menggugat pemerintah senilai Rp 7,7 triliun atau sekitar US$ 581 juta.

Wakil Presiden Jusuf Kalla atau akrab disapa JK yakin pemerintah Indonesia akan menang. Pasalnya, India Metals dipandangnya tidak punya legal standing.

"India Metals itu sudah kita (dihadapkan) di lembaga abitrase internasional. Pertama dia tidak punya legal standing sebenarnya," kata JK di kantornya, Jakarta, Selasa (22/8/2017).

JK juga yakin India Metals tak punya legal standing, lantaran yang melakukan investasi bukanlah mereka secara langsung.

"Karena yang investasi itu bukan India Metals. Dia tak punya legal standing," tegas JK.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia kembali ‎mendapat gugatan arbitrase internasional dari perusahaan tambang asing asal India, karena tidak bisa melakukan kegiatan penambangan.

Kepala Bagian Hukum Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Heriyanto‎ mengatakan, pemerintah Indonesia sedang berhadapan dengan investor asing dalam forum arbitrase internasional di Permanent Coirt of Arbitration di Den Hag dalam Kasus melawan India Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA), sebuah perusahaan berbadan hukum India.

"Arbitrase IMFA kami digugat di arbirtase," kata Haryanto, di Kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Jakarta, Rabu (18/11/2015).

Menurut Heriyanto, dalam gugatan arbitrase tersebut, pemerintah dituntut Rp 7,7 triliun atau US$ 581 juta karena tidak bisa melakukan kegiatan produksi batu bara yang disebabkan tumpang tindih lahan dengan tujuh Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya