Hasil Rapim, Ketua DPR Tetap Setya Novanto

Status tersangka Setya Novanto tidak mempengaruhi struktur pimpinan di DPR.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 18 Jul 2017, 15:54 WIB
Ketua DPR Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dan Fadli Zon dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/7). Setnov menghargai keputusan KPK yang menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Status tersangka Setya Novanto tidak mempengaruhi struktur pimpinan di DPR. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, ini sesuai dengan putusan dalam rapat pimpinan (rapim). Oleh karena itu, Setya Novanto tetap duduk sebagai Ketua DPR.

"Pimpinan DPR RI tetap seperti sekarang ini," ujar Fadli di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (18/7/2017).

Menurut dia, keputusan ini diambil berdasarkan hasil rapim bersama dengan pimpinan DPR lainnya yaitu Fahri Hamzah, Taufik Kurniawan, Agus Hermanto, dan Ketua DPR sendiri Setya Novanto.

"Kami tadi rapim di dalam untuk menyamakan bagaimana kita bisa lihat situasi ini dari sisi perundang-undangan yang ada dan aturan mekanisme yang ada di DPR," ucap Fadli.

Menurut dia, sesuai Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3), hal tersebut dapat dilakukan. Jika ada legislator yang terjerat kasus hukum, sampai ada putusan hukum tetap, dia tetap menjadi anggota DPR

"Tetap menjadi anggota DPR sampai proses hukum itu ada keputusan akhir atau inkrah dan persoalan di pimpinan sejauh tidak ada perubahan dari fraksi dan parpol yang mengusung, maka tidak akan ada perubahan juga dalam konfigurasi di pimpinan DPR RI," jelas Fadli.

Pernyataan Fadli dipertegas oleh Kepala Badan Keahlian DPR RI Kadir Johnson Rajagukguk. Dia menyatakan, kursi Ketua DPR masih diduduki oleh Setya Novanto.

"UU MD3 sudah diatur mengenai pemberhentian Pimpinan DPR, dalam Pasal 87 ditegaskan bahwa Pimpinan DPR diberhentikan ada tiga alasan, meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan," tutur Johnson.

Sedangkan kalau Pimpinan DPR tersangkut kasus hukum, pemberhentian baru bisa dilakukan apabila ada ketetapan hukum yang inkrah.

"Kalau pimpinan DPR tersangkut hukum, maka dalam Pasal 87 ayat 2 huruf c sudah diatur bahwa pemberhentian itu bisa dilakukan mana kala telah ada putusan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau inkrah karena melakukan tindakan pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih," papar Johnson.

Saksikan video berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya