Penjelasan Muhammadiyah soal Gajah Mada dan Gaj Ahmada

Buku yang mengulas tentang Gajah Ahmada diterbitkan pertama kali pada 2010 sebanyak 1.000 eksemplar untuk kalangan sendiri.

oleh Yanuar H diperbarui 20 Jun 2017, 11:01 WIB
Buku yang mengulas tentang Gajah Ahmada diterbitkan pertama kali pada 2010 sebanyak 1.000 eksemplar untuk kalangan sendiri. (Liputan6.com/Yanuar H)

Liputan6.com, Yogyakarta - Beberapa waktu terakhir, media sosial dihebohkan dengan nama dan sejarah Patih Kerajaan Majapahit Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada. Perbedaan pendapat juga mencuat terkait Kerajaan Majapahit yang merupakan kesultanan dan Patih Gajah Mada yang beragama Islam.  

Informasi itu didasarkan pada penelitian dan kajian yang kemudian dijadikan buku dengan judul Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi. Buku tersebut diterbitkan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta.

Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta Ashad Kusuma Djaya menegaskan, tidak ada campur tangan Muhammadiyah Kota Yogyakarta dalam penulisan buku Kesultanan Majapahit. Muhammadiyah hanya memfasilitasi kajian, sementara hasil kajian itu lalu didokumentasikan oleh anggota kajian itu.  

"Buku itu memang lebih inisiatif dari Mas Herman. Muhammadiyah lebih ke fasilitasi kajian. Penerbitannya dari komunitas kajian itu. Walaupun, hal-hal memudahkan penerbitan itu semua di bawah bendera LHKP PDM Kota Yogyakarta," ujarnya saat ditemui Liputan6.com, Senin, 19 Juni 2017.

Para anggota dalam kajian tentang Majapahit dan Gajah Mada itu berasal dari berbagai komunitas yang ada di Yogyakarta, mulai dari pencinta kajian ilmiah hingga S3, yang berlangsung sejak 2010 lalu. Namun, kelompok kajian itu semakin berkembang karena anggotanya menelusuri kajian lebih dalam. Bahkan, ada anggota kajian yang menelusuri secara mandiri hingga ke Cina.

"Isinya komunitas macem-macem, tapi yang diundang tidak semuanya muslim. Kajian ini tidak berdiri sendiri. Temen juga ada kajian dengan Sifu Yonathan, biksu Buddha. Komunitas ini berhubungan dengan banyak komunitas," ujarnya.

Ashad yang juga pernah menjadi Ketua LHKP ini mengaku setiap era memiliki bidang kajian yang diteliti. Pada era kepemimpinannya, komunitas lebih fokus mengkaji tentang gerakan antikorupsi. Saat itu, ia dan anggota tim kajian sempat mencetuskan gerakan Satgas Muda Antikorupsi Yogyakarta.

Ashad menjelaskan buku yang dikeluarkan waktu itu dengan yang beredar saat ini dan viral di media sosial jelas berbeda. Buku yang diterbitkan oleh LKPP bukanlah Gaj Ahmada, tetapi sosok bernama Gajah Ahmada atau dikenal pula dengan nama Syekh Mada.

Kesalahan penulisan nama itu, ujar dia, akibat ketidaktahuan editor dalam penulisan sastra Jawa dan Sansekerta. Buku itu diterbitkan pada 2010 sebanyak 1.000 eksemplar untuk untuk kalangan sendiri.

"Itu orang yang tidak tahu sastra Jawa dan Sansekerta. Pasti orang yang enggak tahu (bahasa) Jawa," ujar Ashad.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya