Transformasi Kapal Nelayan RI Lebih Cepat Ketimbang Jepang

Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang perbaiki standar kapal nelayan untuk meningkatkan tangkapan dan keselamatan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 18 Apr 2017, 20:02 WIB
Kapal nelayan bersandar di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, Senin (10/10). Lebih dari 60 perusahaan, ratusan kapal nelayan dan kapal ikan tak beroperasi dan tutup sebagai bentuk protes kenaikan uang sewa lahan sampai 450 persen (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan perikanan ‎menyatakan proses transformasi kapal nelayan di Indonesia lebih cepat ketimbang Jepang, yang memakan waktu selama 30 tahun. Saat ini instansi tersebut sedang memperbaiki standar kapal nelayan untuk meningkatkan tangkapan dan keselamatan.

Direktur ‎Kapal dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Agus Suherman mengatakan, transformasi kapal nelayan dari sisi teknologi, desain dan administrasi kapal membutuhkan waktu 30 tahun di Jepang.

"Di Jepang butuh 30 tahun untuk tahapan semua, teknologi mapan," kata ‎Agus, di Kantor Kelautan dan Perikanan Jakarta, Selasa (18/4/2017).

Agus menuturkan, nelayan Jepang sebelumnya sulit menerima transformasi kapal, terutama ‎pada teknologi, desain dan bahan baku pembuatan kapal yang berasal dari kayu.

"Persoalan administrasi, desain dan teknoogi jadi persoalan. Nelayan Jepang tidak mau beralih dari kapal kayu," ujar dia.

Agus mengungkapkan, berbeda dengan Indonesia, meski baru melakukan transformasi kapal nelayan, tetapi prosesnya jauh lebih cepat. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah meberikan bantuan kapal sebanyak 1.787 unit ke nelayan, sebagai upaya tranformasi kapal sejak 2010-2016.

"Kami lihat tadi dari 2010-2016 lebih cepat transformasi. Desain teknologi lebih cepat 2-3 tahun sudah bisa," kata Agus.

Agus melanjutkan, agar kapal yang dibuat diterima nelayan, pihaknya melakukan pendekatan holistik dalam membuat kapal, dengan‎ mengikuti desain kapal sesuai dengan budaya yang ada pada masing-masing wilayah.

"Kami dekati holistik kearifan lokal, kami tampung (masukan nelayan),‎ mungkin desain beda-beda seperti di Aceh ada kepala naga," tutur Agus.

 

 

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya