KOLOM BAHASA: Melokap Pelaku Kriminalitas

Namun, apakah kata lokap ini dapat diterima atau tidak kembali lagi kepada masyarakat penutur bahasa.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Feb 2017, 12:36 WIB
Kolom Bahasa Liputan6.com (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Sifat bahasa pada hakikatnya adalah berkembang. Oleh karena itu, suatu bahasa akan memiliki perbendaharaan kosakata maupun frasa baru seiring perkembangan budaya. Di sisi lain, akan ada kosakata lama yang semakin menghilang dan punah.

Ada beberapa alasan mengapa kosakata atau bahasa dapat punah. Di antaranya, penutur aslinya sudah punah atau kosakata tersebut sudah terlalu arkais.

Badan Bahasa secara berkala mencatat bahasa-bahasa daerah yang hampir punah atau bahkan hanya penuturnya hanya tinggal hitungan jari.

“Jaksa Eksekusi Eks Dirut IM2 ke Penjara Sukamiskin” (Liputan6.com/16 September 2014)

“Sering Plesiran, Anggoro Widjojo Dipindah ke Lapas Gunung Sindur” (Liputan6.com/7 Februari 2017)

Kedua judul berita di atas menunjukkan contoh bagaimana sebuah kata lama-kelamaan ditinggal penuturnya karena adanya pergeseran makna ameliorasi.

Dulu, bangunan tempat mengurung pelaku kriminalitas ditahan di dalam bangunan yang disebut penjara. Namun, kata penjara sudah semakin jarang digunakan karena maknanya yang dianggap kurang halus.

Bahkan, bangunan-bangunan tempat menahan pelaku kriminalitas pun kini telah terang-terangan memasang nama lembaga pemasyarakatan atau lapas di bagian depan bangunan.


Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, kata penjara memiliki arti ‘bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui; lembaga pemasyarakatan’.

Jika kembali melihat arti kata bangunan yang berarti ‘sesuatu yang didirikan; sesuatu yang dibangun (seperti rumah, gedung, menara)’, dapat disimpulkan bahwa sebuah lembaga pemasyarakatan atau penjara merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri dan memang khusus untuk mengurung tahanan.

Lalu, bagaimana dengan tempat mengurung pelaku kriminalitas yang ada di kantor polisi semacam di polres atau polsek? Apakah juga disebut penjara? Atau sel?

Kalau menilik arti kata sel di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V yang berarti ‘bilik kecil dan sempit (dalam penjara, biara, dan sebagainya)’, sepertinya kurang tepat untuk menyebut ruang tahanan di kantor polisi tersebut dengan sel.

Seperti yang saya ungkapkan di awal, Indonesia ternyata memiliki banyak kata arkais yang kini mulai dilupakan, terutama kosakata dari bahasa Melayu. Untuk menyebut tempat menahan orang di kantor polisi, kita dapat menggunakan kata lokap, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V berarti ‘bilik tempat tahanan (di kantor polisi)’. Kata ini tampaknya berasal dari bahasa Melayu, sebab dalam Kamus Dewan pun kata lokap berarti ‘bilik tempat mengurung orang tahanan (di balai polisi)’.


Kata lokap ini sepertinya lebih tepat untuk merujuk pada tempat tahanan yang ada di kantor polisi, bukan di lembaga pemasyarakatan. Karena itu, sudah saatnya kita, terutama para pekerja di media, untuk mulai mengedukasi dan memopulerkan kembali kata tersebut, sebagaimana kita memopulerkan kata-kata yang dulu tak begitu populer, seperti unggah, unduh, gawai, dan petahana.

Namun, apakah kata ini dapat diterima atau tidak kembali lagi kepada masyarakat. Selera masyarakat penutur bahasa-lah yang akan menentukan kata-kata itu akan bertahan atau dilupakan. Salah satunya sangkus dan mangkil untuk menggantikan serapan bahasa Inggris efektif dan efesien yang nyatanya kurang bisa diterima penutur bahasa Indonesia.

 

Penulis : Harry Purnama (alumnus pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, dan pekerja media).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya