Limbah Gawai di Asia Tenggara Mengkhawatirkan, Indonesia?

Rata-rata, sampah elektronik dan gawao di 12 negara di Asia menurut studi itu meninggkat dua pertiga dalam lima tahun. Termasuk Indonesia.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 15 Jan 2017, 15:15 WIB
Seorang pria di sebuah toko barang bekas elektronik di Jakarta. Foto diambil pada Jumat 13 Januari 2017 (AP Photo/Tatan Syuflana)

Liputan6.com, Jakarta - Limbah gawai dan alat elektronik bekas lainnya kini makin mencapai level mengkhawatrikan. Akibatnya mengancam kesehatan dan lingkungan jika tak dibuang secara aman.

China dianggap negara dengan limbah peranti elektronik yang paling mengerikan. Demikian ungkap sebuah penelitian dari United Nation University. Kendati demikian, negara-negara di Asia mulai menampakkan peningkatan limbah itu secara masif antara tahun 2010 hingga 2015.

Dikutip dari AP, pada Minggu (15/1/2017), rata-rata, sampah elektronik di 12 negara di Asia menurut studi itu meningkat dua per tiga dalam lima tahun. Total 12,3 juta ton untuk tahun 2015 saja.

Adapun faktor pemicunya adalah meningkatnya pendapatan, jumlah populasi kaum muda, dan inovasi teknologi. Perubahan fashion dan perdagangan ilegal secara global juga disebut-sebut sebagai alasan meningkatnya sampah elektronik itu.

"Konsumen di Asia paling sering mengganti gawai mereka. Ditambah banyak produk baru dirancang murah dan tak perlu diperbaiki jika rusak dan diklaim mampu didaur ulang," tulis studi itu.

Atas perilaku itu, studi tersebut merekomendasikan pemerintah untuk melakukan sesuatu terkait manajemen limbah HP dan elektronik.

Hanya di Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang telah memiliki sistem daur ulang sampah elektronik semenjak tahun 1990an.

Sampah terbuka yang tak menghiraukan komponen merkuri, serta pembakaran sampah plastik makin meningkat terutama di Indonesia, Thailand, dan Kamboja.

Studi mengatakan membakar sampah dan daur ulang yang tak aman akan membuat kesehatan menurun. Termasuk mandul, masalah perkembangan anak, dan kesehatan paru-paru. Juga menganggu sistem liver, ginjal dan masalah mental.

Pendaur ulang sampah elektronik kerap melakukan itu demi mencari emas, perak, paladium dan tembaga dari limbah seperti ponsel.

Asia secara keseluruhan merupakan pasar terbesar untuk elektronik dan gawai. Selama hampir setengah dari penjualan menghasilkan limbah yang paling banyak.

Guiyu, sebuah kota pedesaan yang tercemar berat di China yang mengkhususkan diri dalam pembongkaran elektronik konsumen. Beberapa di antaranya limbah itu diekspor dari negara-negara kaya. .

China kini telah membersihkan Guiyu dan pusat-pusat lain seperti itu tapi Basel Action Network, yang membawa Guiyu ke perhatian internasional, mengatakan sebagian besar praktik berbahaya terus terjadi di Guiyu meskipun terkonsentrasi dalam sebuah taman industri baru di pinggiran desa itu.

Ruediger Kuehr, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan jumlah sampah yang dihasilkan lebih tinggi dari perkiraan pemerintah, sebagian karena definisi mereka soal limbah sempit, dan harus menjadi wake-up call bagi pembuat kebijakan dan konsumen.

"Kita semua tahu manfaat dari kemewahan produk-produk listrik dan elektronik sampai batas tertentu, itu membuat hidup kita lebih mudah, kadang-kadang lebih rumit," katanya. "Namun jika kita ingin terus seperti ini kita harus menggunakan kembali sumber daya yang terkandung dalam peralatan elektronik dan listrik."

"Sebuah smartphone, misalnya, menggunakan lebih dari setengah unsur-unsur yang memiliki batas usia, beberapa di antaranya sangat langka, dan di masa depan, produk itu bisa rusak dan tak digunakan lagi tanpa perlu di daur ulang," tutup Kuehr.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya