Pengamat: Kepentingan Politik Lebih Dominan dalam Kasus Ahok

Menurut ahli hukum pidana Ahmad Rifai, polisi dan kejaksaan kurang serius dalam mengusut kasus Ahok.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 08 Des 2016, 09:41 WIB
Tersangka dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bersiap meninggalkan Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (1/12). Ahok keluar setelah satu jam menjalani proses penyerahan berkas, barang bukti dan tersangka. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan berlangsung pada Selasa 13 Desember 2016. Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mempercepat penanganan kasus Ahok.

Menurut ahli hukum pidana Ahmad Rifai, polisi dan kejaksaan kurang serius dalam mengusut kasus ini.

"Menurut saya belum terlihat keseriusan untuk mengungkap kasus ini secara tuntas dan hanya formalitas proses hukum saja. Jadi, formalitas hanya untuk diproses di peradilan saja dan untuk menghindari tuntutan publik yang besar dan bukan proses hukumnya," ucap Rifai kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (8/12/2016).

Selain itu, dia mengatakan aroma adanya kepentingan politik dalam penanganan kasus Ahok kian terasa.

"Saya rasa kepentingan politiknya lebih dominan," jelas Rifai.

Dia juga menjelaskan, jika Ahok terbukti tidak bersalah, maka hal ini menimbulkan kesan hukum Indonesia yang buruk. Buruk yang dimaksud, bukan karena Ahok bisa bebas, tapi menunjukkan proses hukum yang tidak adil bagi Gubernur nonaktif DKI Jakarta itu.

"Pasti buruk. Karena dengan bebas itu, mengindikasikan kekurangseriusan dalam proses hukumnya dan nama terdakwa (Ahok) tersebut harus direhabilitasi dan ganti kerugian," tandas Rifai.

Dia berharap hukum tidak dipermainkan demi kepentingan politik.

"Layak dan tidaknya jaksa yang menilai. Namun, hendaklah hukum jangan dipermainkan demi kepentingan politik. Karena hukum adalah rule of law," pungkas Rifai.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya