Pengamat: Putusan MK Membuat Setya Novanto di Atas Angin

Menurut M Qodari, Setya Novanto harusnya bisa bernapas lega karena kasus yang menimpa dirinya tidak sah secara hukum.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 09 Sep 2016, 23:49 WIB
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat (tengah) membacakan putusan uji materi UU ITE yamg diajukan Setya Novanto saat sidang pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (7/9). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Hal itu disampaikan Ketua Majelis Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan pada Rabu 7 September 2016.

Pada persidangan itu Arief mengatakan menerima permohonan pemohon sebagian, sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik, sebagai alat bukti penegakan hukum atas permintaan kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya sebagaimana diatur dalam UU ITE.

Menurut pengamat politik dari Indobarometer M Qodari, Setya Novanto harusnya bisa bernapas lega karena kasus yang menimpa dirinya tidak sah secara hukum.

"Secara politik Pak Nov jelas di atas angin. Artinya segala hal yang dipakai mempermasalahkan menjerat Pak Nov ternyata secara hukum itu dianggap tidak sah oleh MK. Terlepas itu berlaku surut atau tidak, coba mintakan pendapat ahli hukum," kata M Qodari saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Jumat (9/9/2016).

Dia menambahkan, dengan putusan MK tersebut maka siapa pun yang memperkarakan mantan Ketua DPR atas kasus 'Papa Minta Saham' itu sudah terbantahkan oleh hukum yang sah alias gugur secara hukum.

"Karena alat bukti yang didapat adalah ilegal karena putusan MK tersebut ya, jadi memang sudah dipatahkan tuduhan yang diberikan kepada Pak Novanto," tandas M Qodari.

Sebelumnya, Setya Novanto menggugat Pasal 15 UU Tipikor yang berbunyi: "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14."

Menurut Setya Novanto, kalimat permufakatan jahat menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. Karena itu, Setya Novanto meminta MK menafsirkan frasa tersebut.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya