Di Bawah Ancaman Teror

Pemimpin dan elite pada lapisan dan bidang manapun, dalam konteks ini, memiliki posisi strategis. Pada mereka digantungkan harapan pembentukan nilai dan etika agar sistem dan dunia kehidupan itu berdiri kokoh. Reaksi tak terukur dan terkesan panik justru kontraproduktif. Di bawah gelap kehidupan yang penuh risiko kini, rakyat membutuhkan terang dan kepastian. Pada pemimpin dan elite yang memerintah mereka berharap.

oleh Liputan6 diperbarui 20 Jul 2009, 11:13 WIB
Bom meledak lagi. Di tempat yang sama lagi, dan satu tempat lain. Enam tahun lalu di Hotel JW Marrriot, membunuh 11 orang dan membuat luka 152 orang. Kini di JW Marriot dan Ritz-Calton, sembilan tewas dan 53 luka-luka (data terakhir). Sebelum itu, pada 2000, di kediaman Duta Besar Filipina, dua orang tewas dan 21 orang luka-luka (termasuk sang duta besar).

Bom terus diledakkan, ratusan korban juga tewas dan luka-luka: di Gedung Bursa Efek Jakarta (tahun 2000); di beberapa kota (2000); di diskotek Sari Club dan Paddy’s, Bali (2002); di restoran McDonald’s, Makassar (2002); di Bandara Soekarno-Hatta, Banten (2003), di kawasan Kedubes Australia, Jakarta (2004), dan di restoran Raja’s dan Nyoman Cafe, Bali (2005).

Sudah sedemikian riskankah hidup di zaman kini? Kemampuan manusia terus bertambah karena perkembangan rasionya. Hidup menjadi lebih mudah ketika sains dan tekonologi sebagai buah rasio  membuat manusia mampu mengendalikan alam. Tapi seketika itu pula paradoks muncul: hidup pun penuh risiko. Kemampuan rasio manusia juga yang menghasilkan bom dan nuklir. Kemampuan yang sama pula yang membuat lingkungan alam rusak.

Kita tampaknya harus terbiasa atau membiasakan diri hidup dalam risiko. Sewaktu-waktu perang nuklir bisa terjadi, sewaktu-waktu pula bencana alam bisa datang. Semua karena ulah manusia. Di tangan manusia, potensi rasio bisa menjadi berkah tapi juga bencana. Maka, soal bukan semata terletak pada menggenjot habis kemampuan rasio pada batas terakhirnya. Manusia juga perlu membentuk sistem dan dunia kehidupan yang mengandaikan etika agar rasio bisa dikendalikan untuk tujuan kemaslahatan bersama.

Pemimpin dan elite pada lapisan dan bidang manapun, dalam konteks ini, memiliki posisi strategis. Pada mereka digantungkan harapan pembentukan nilai dan etika agar sistem dan dunia kehidupan itu berdiri kokoh. Reaksi tak terukur dan terkesan panik justru kontraproduktif. Di bawah gelap kehidupan yang penuh risiko kini, rakyat membutuhkan terang dan kepastian. Pada pemimpin dan elite yang memerintah mereka berharap.

Dalam ketidak-pastian, ketidak-tahuan, dan keraguan yang mudah muncul secara spontan adalah spekulasi. Ini mestinya menjadi sikap rakyat karena ini amatir. Pada pemimpin dan elite  yang diharapkan adalah sikap tenang dan profesional. Pemimpin dan elite negara tak semestinya malah membuat panik dan kisruh dengan pernyataan yang spekulatif. Pemimpin harus berada di depan, karena itu tidak pantas panik dan marah.

Kita berharap apa, siapa, bagaimana, dan kenapa bom di JW Marriot dan Ritz-Calton itu meledak dan diledakkan segera terkuak. Dengan begitu menjadi teranglah apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negara kita yang konon oleh penguasa sering disebut ada pada jalur yang benar. Kalau benar, kenapa ada orang marah dan meledakkan bom di mana-mana untuk mengekspresikan aspirasi dan kepentingannya?

Kita justru melihat fenomena yang sebaliknya di masyarakat bawah. Bom yang baru saja meledak itu tak membuat mereka panik dan takut. Hotel dan mal tetap saja banyak pengunjungnya. Di jejaring perkawanan Facebook malah banyak kita temukan pernyataan yang mengindikasikan ketenangan: peristiwa itu dikomentari dengan penuh canda, meski satu-dua bernada kutukan. Artinya? Rakyat percaya pemimpin dan elitenya serta penegak hukum  mampu (atau tidak mampu?) mengungkap dan menangkap pelaku dan dalang teror bom itu. Maka: (tinggal) laksanakan!

Iskandar Siahaan
Kepala Penelitian dan Pengembangan Liputan 6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya