Bos BEI: Saat Ini RI Dilanda Krisis `Made In China`

Indonesia saat ini sedang dilanda krisis dengan pemicu utama kebijakan China mendevaluasi mata uang Yuan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Agu 2015, 18:17 WIB
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Jika pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyembunyikan status kondisi ekonomi nasional saat ini, lain halnya Bursa Efek Indonesia (BEI). Otoritas pasar modal ini menilai Indonesia sedang dilanda krisis dengan pemicu utama kebijakan China mendevaluasi mata uang yuan.

Hal itu disampaikan Direktur Utama (Dirut) BEI, Tito Sulistio saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Kamis (27/8/2015).

"Prinsipnya kalau semua fundamental ekonomi bagus, tapi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun cepat sekali dalam waktu seminggu, maka ada something wrong dan buat bursa ini juga tanda-tanda krisis," tegas dia.

Tanda-tanda krisis lain, kata Tito, China mengeluarkan kebijakan secara sengaja melemahkan mata uang yuan untuk meningkatkan daya saing produk. "Buat saya ini tanda-tanda krisis," ucapnya.

Akibat situasi dan kondisi tersebut, BEI bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bereaksi cepat. Beberapa langkah, lanjut Tito, dikeluarkan karena investor mulai menjerit dan keuntungan investasi pada portofolio reksadana semakin tergerus.

"Kalau tidak bereaksi cepat, maka akan dimanfaatkan para spekulator. Jadi aksi cepat kita buyback tanpa RUPS, menahan turunnya laju IHSG dan memeriksa mereka yang akan berspekulasi," terang Tito.

Adapun upaya OJK dan BEI untuk menahan jatuhnya IHSG semakin dalam, antara lain:

1. Dari OJK

- Membolehkan pembelian kembali atau buyback saham emiten tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Saat ini telah terdapat beberapa emiten yang telah menyampaikan keterbukaan informasi terkait rencana buyback, seperti ARNA, MEDC, MPMX, dan lainnya.

2. Dari BEI

- Melakukan penyesuaian auto-rejection saham (batas bawah maksimal perubahan harga saham adalah 10 persen)
- Meningkatkan kepercayaan dan rasa aman investasi melalui peningkatan Dana Perlindungan Pemodal (DPP) pada SIPF dari Rp 25 juta menjadi Rp 100 juta
- Meningkatkan komunikasi dan koordinasi kepada seluruh stakeholder
- Meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan transaksi di luar ketentuan (aktivitas marjin dan short selling)
- Konsisten dalam pengelolaan risiko untuk menjamin kelangsungan sistem perdagangan

"Kita akan lakukan langkah ini sampai keadaan normal. Jika krisis 1998 bisa selesai dalam dua tahun, dan butuh waktu enam bulan mengatasi krisis 2008. Maka kasus krisis kali ini diharapkan tidak akan lama, karena krisis 'made in china'. Tahun dong (kualitas) barang China," harap Tito. (Fik/Ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya