Mahfud MD Kecewa Eks Koruptor Bisa Jadi Calon Kepala Daerah

Menurut Mahfud MD, saat dirinya masih memimpin MK, narapidana boleh mendaftarkan diri tapi setelah 5 tahun bebas.

oleh Oscar Ferri diperbarui 30 Jul 2015, 14:14 WIB
Tokoh Nahdlatul Ulama, Mahfud MD menjadi narasumber dalam diskusi menyambut satu abad NU dan Muktamar NU ke-33, Jakarta, Senin (30/3/2015). Diskusi mengangkat tema "Muktamar Bersih" yang mencermati isu-isu perpecahan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyayangkan putusan MK terhadap uji materi ‎Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Pasal itu mengatur‎ tentang pelarangan eks narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Mahfud kaget sekaligus sedih dengan amar putusan ‎MK tersebut. Sebab, narapidana berbagai kasus, termasuk kasus korupsi, bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah tanpa ada batasan waktu. Sebab, saat dirinya masih memimpin MK, narapidana boleh mendaftarkan diri tapi setelah 5 tahun bebas.

"‎Terus terang agak kaget dan sedih juga, napi boleh calon tanpa dibatasi waktu dan jenis perkara tertentu. Dulu napi sama sekali tidak boleh, tapi pas saya boleh 5 tahun setelah bebas," ujar Mahfud di Jakarta, Kamis (30/7/2015).

"Dulu dipertimbangan kita ada asal dipilih rakyat, sekarang dibolehkan langsung tanpa ada syarat," sambung dia.

Tentu yang dikhawatirkan Mahfud adalah para koruptor yang ingin menjadi pemimpin di daerah. Dia mengingatkan, biar bagaiamana pun koruptor memiliki uang yang banyak.

"Koruptor uangnya banyak sekali. Partai dan rakyat dibeli semua," ucap mantan anggota Komisi III DPR ini.

Mahfud bingung dengan putusan MK ini. Apakah ini sebuah kemajuan demokrasi di Tanah Air? Atau sebaliknya, sebuah kemunduran dalam demokrasi?

"Ini maju atau mundur dalam demokratsi, tidak tahu juga. Kalau mereka berpegang pada MK, demokrasi itu konsekuensinya. Kalau suda terjadi ditarik lagi tidak bisa," ucap Mahfud.

Menghormati Putusan

Kendati, Mahfud meminta semua pihak menerima putusan MK. Sebab, putusan MK senafas dengan undang-undang yang wajib hukumnya dilaksanakan.

‎"Tapi intinya itu putusan MK harus dianggap benar, meskipun salah secara moral. Tinggal bagaimana kita awasi. Tapi sungguh berat mengawasi rakyat dan politik uang," pungkas Mahfud.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutus‎ mengabulkan permohonan uji materi Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Dalam pasal itu diatur tentang ketentuan, mantan narapidana dilarang ikut pilkada.

Namun dengan putusan MK ini, para bekas narapidana bisa mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah. Baik itu ‎mantan narapidana kasus narkoba, terorisme, maupun korupsi.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan, Pasal 7 huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. MK juga menilai pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, s‎epanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana, yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Permohonan uji materi Pasal 7 huruf g ini diajukan Jumanto, warga Dusun Siyem RT 1 RW 4, Desa Sogaan, Pakuniran, Probolinggo, Jawa Timur dan Fathor Rasyid warga Kloposepuluh RT 2 RW 5, Desa Kloposepuluh, Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur.

Bertindak selaku pengacara pemohon adalah Yusril Ihza Mahendra. Menurut pemohon, antara masyarakat biasa dan mantan narapidana haknya sama dalam pembangunan bangsa. Mantan narapidana adalah warga negara yang telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan telah kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang bebas dan merdeka.

"Semua warga negara dengan itu dapat turut serta dalam kegiatan pembangunan, salah satunya dengan menjadi kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota)," kata Jumanto dan Fathor dalam argumentasi yuridis permohonannya. (Rmn/Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya