Hillary Clinton Ikut Kritisi Taksi Uber

Hillary tidak setuju dengan sistem rekrutmen Uber yang menempatkan pengemudi sebagai "kontraktor" bukan pegawai.

oleh Adhi Maulana diperbarui 14 Jul 2015, 18:22 WIB
Kandidat presiden Amerika Serikat dari Demokrat, Hillary Clinton, berbicara di hadapan pendukungnya saat kampanye di Hanover, New Hampshire. (Reuters/Dominick Reuter)

Liputan6.com, Jakarta - Kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokratis, Hillary Clinton, ternyata juga memerhatikan perkembangan bisnis berbasis teknologi. Calon Presiden wanita pertama AS itu bahkan memiliki catatan khusus untuk layanan transportasi berbasis aplikasi Uber yang kerap memicu kontroversi.

Berbicara pada acara konferensi yang berlangsung di New School New York City, Hillary menyatakan bahwa dirinya cukup bahagia melihat pertumbuhan bisnis on-demand seperti Uber.

"Banyak orang AS yang kini mendapatkan uang ekstra dari menyewakan ruang kecil, mengemudi mobil mereka sendiri, mendesain web, atau menjual produk home made. Ini adalah model bisnis on-demand yang memberikan banyak kesempatan dan inovasi," ujar Hillary.

Namun begitu, Hillary menegaskan bahwa semua hal itu tetap harus diregulasi oleh Pemerintah guna menjamin tidak adanya tindak diskriminatif dalam praktik usaha.

Untuk Uber contohnya. Hillary tidak setuju dengan sistem rekrutmen Uber yang menempatkan pengemudi sebagai "kontraktor" bukan pegawai. Hal ini dinilai sebagai akal-akalan Uber untuk melepas tanggung jawab memenuhi standar kebutuhan pegawai yang wajib dipenuhi perusahaan seperti asuransi kesehatan, tunjangan operasional, dan berbagai hal terkait perlindungan tenaga kerja lainnya.

"Semua perusahaan harus membayar adil pegawainya, membuat jadwal yang adil, memberikan cuti keluarga, tunjangan kesehatan hingga perawatan anak," kata Hillary.

Uber sendiri memang tidak pernah mengakui pengemudi mereka sebagai pegawai. Mereka hanya berposisi sebagai penyedia aplikasi saja. Kondisi ini membuat Uber terlepas dari segala kewajibannya sebagai perusahaan terhadap pegawai.

Selain itu, segala tindak kejahatan yang melibatkan pengemudi dan pengguna layanan Uber juga tidak menjadi tanggung jawab Uber. Sekali lagi, karena mereka hanya berperan sebagai penyedia aplikasi.

Sistem berbisnis Uber tersebut menyedot kontroversi di berbagai negara tempat mereka beroperasi. Di Indonesia, Uber telah secara tegas ditolak, baik itu oleh Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda), Pemerintah Daerah serta juga Dinas Perhubungan.

Sementara di Perancis, eksistensi Uber bahkan sempat menyulut kerusuhan di kota Paris pada akhir Juni lalu. Para sopir taksi di Paris menggelar aksi demo besar-besaran yang berujung pada dibakarnya sebuah mobil yang diduga merupakan anggota Uber.

Para pendemo menuntut agar layanan Uber, khususnya aplikasi UberPop yang memungkinkan pemilik mobil pribadi untuk merentalkan kendaraannya sebagai alat transportasi, segera diblokir.

(dhi/isk)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya