Liputan6.com, Kabul - Psikiater para milisi Taliban di Afghanistan Pada akhir 1990-an, Taliban mengontrol Afghanistan, namun begitu banyak pertempuran yang memberikan efek psikologis perang kepada para milisi. Seorang dokter merasakan hal itu secara langsung saat membantu para petempur. Walaupun si dokter tidak setuju dengan ideologi Taliban, dia setuju untuk membantu mereka mengatasinya.
"Saya ingat kelompok Taliban pertama yang datang pada saya," ujar psikiater Afghanistan Nader Alemi, seperti dimuat BBC, Rabu (26/11/2014). "Mereka biasa datang berkelompok, bukan individu. Ketika saya mengobati satu orang, dia akan menyebarkan informasi untuk berobat ke aku ke yang lain."
Kata Alemi, para pejuang itu datang dengan secarik kertas bertuliskan namanya. Milisi itu mengatakan bahwa sang dokter bakal menyembuhkan teman mereka. "Dan mereka ingin juga disembuhkan. Kebanyakan dari mereka belum pernah pergi ke dokter."
Dokter Alemi - orang yang cukup dikenal di Afghanistan - tinggal di Mazar-e-Sharif. Pasukan Taliban menguasai kota ini pada Agustus 1998. Suara-suara di kepala Walau Taliban sukses di medan perang, Alemi melihat kemunduran mental yang dialami para milisi akibat perang bertahun-tahun. Dia adalah psikiater satu-satunya di Afghanistan utara yang bisa berbahasa Pashto, bahasa yang banyak orang Taliban gunakan.
Suatu hari, salah satu gubernur Taliban Akthar Osmani datang menemui Alemi. Dia bernama Mullah Akhtar, tangan kanan Mullah Omar, pemimpin spiritual Taliban. "Dia mendengar suara-suara, dia mengalami delusi - penjaganya mengatakan mereka suka mendengarnya meracau di malam hari," kata Alemi.
Staf Mullah Akhtar juga mengatakan bosnya kadang tidak mengenali mereka. "Hanya Tuhan yang tahu sudah berapa lama pria ini berada di garis depan peperangan. Dan hanya Tuhan yang tahu berapa orang yang mati di depannya. Semua ledakan dan teriakan masih terdengar di kepalanya, bahkan ketika dia duduk nyaman di kantornya."
Alemi bertemu Mullah Akhtar secara intensif untuk memberikan pengobatan jangka panjang, namun pasiennya harus pergi dalam misi setiap tiga bulan, dan hanya bisa bertemu beberapa kali.
Pada 2006, Mullah Akhtar tewas dalam serangan udara. Sekolah gelap Selain itu, Alemi juga mengobati pejabat tinggi Taliban lain. "Kami menjadi teman. (Satu di antaranya) meminta saya untuk menemuinya di markas. Dia menderita depresi dan sakit kronis, dan saya diresepkan dia obat untuk mengurangi gejala."
"Saya tidak ingat berapa orang yang datang kepada saya, tapi pasti ribuan. Saya mengobati mereka selama hampir tiga tahun, sebelum Mazar direbut kembali pada November 2001."
Karena sebagian besar pasien ini belum pernah ke dokter sebelumnya, Alemi bertanya apakah komandan mereka melarangnya tapi itu tidak terjadi. Sekarang beberapa di antaranya sudah menjadi dokter, insinyur dan guru. Mereka semua menghargai apa yang saya lakukan untuk mereka.
"Sejujurnya, mereka sibuk dengan misi mereka dan rutinitas sehari- hari sehingga mereka tidak punya waktu untuk pengobatan. Anehnya, mereka semua percaya pada perawatan saya."
Alemi menemukan banyak militan ingin mati. "Mereka mengatakan kepada saya mereka [ingin] bunuh diri, tapi tidak bisa karena nilai-nilai Islam." Satu orang pernah berkata, "Setiap kali saya pergi ke garis depan, saya berharap seseorang akan menembak saya dan mengakhiri hidup saya. Tapi saya masih bertahan dan membenci hidup semacam ini..."
Kata dia, sekali konsultasi hanya seharga US$1 atau sekitar Rp 12.000 dan Taliban kadang mengirim juga istri dan anak-anaknya untuk pengobatan. Mereka juga mengalami depresi karena mereka tidak melihat suami dan ayah mereka dalam waktu yang lama dan mereka tidak tahu bagaimana masa depan menanti.
Namun yang paling mengejutkan, selagi Alemi mengobati Taliban, istrinya mengelola sekolah gelap untuk sekitar 100 perempuan - praktik yang dilarang keras oleh Taliban. Istrinya, Parvin Alemi, mengajari mereka tentang sastra, bahasa, matematika, dan buku-buku Islam.
"Yang saya inginkan adalah untuk mendidik anak-anak," katanya. "Sekarang beberapa sudah menjadi dokter, insinyur dan guru. Mereka semua menghargai apa yang saya lakukan untuk mereka. Mereka mengatakan mereka akan tetap buta huruf jika saya tidak mendidik mereka."
Lewat 15 tahun kemudian, Alemi masih mengobati warga Afghanistan trauma akibat konflik. Antrean di rumah sakitnya mengular sepanjang koridor, pria dan wanita dalam kelompok-kelompok terpisah. Mereka mengeluh depresi, perubahan suasana hati dan mimpi buruk.
Cerita Psikiater Milisi Taliban di Afghanistan
Walaupun si psikiater tidak setuju dengan ideologi Taliban, dia setuju untuk membantu mereka mengatasinya.
diperbarui 26 Nov 2014, 23:11 WIBIlustrasi (blogs.thenews.com)
Advertisement
Advertisement
Advertisement
POPULER
1 2 3 4 Energi & TambangUsai Turun 2 Pekan Beruntun, Harga Minyak Dunia Kembali Melonjak
5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
Kasus Brigadir RAT Bunuh Diri, Kompolnas Dorong Polri Sediakan Psikolog di Tiap Polres
Jadwal Sholat DKI Jakarta, Jawa dan Seluruh Indonesia Hari Ini Minggu 28 April 2024
Simpel dan Berguna, Undangan Pernikahan Ditempel ke Produk Bumbu Instan
Lihat Alam Barzakh usai Mati Suri? Ini Kata Buya Yahya
Identitas Penumpang Kapal yang Nekat Melompat ke Laut di Perairan Lampung
Cerita Warga Cirebon Merasakan Getaran Gempa Garut
Dua Warga Pameungpeuk Dirawat Akibat Gempa Garut Magnitudo 6.5
VIDEO: Atap Bangunan Ambruk! Dampak Gempa Magnitudo 6,5 Garut
Indra Pratama Bantah Rumah Tempat Brigadir RAT Bunuh Diri Milik Mantan Menteri Fahmi Idris
Respons Anies soal PKB-NasDem Gabung Koalisi Prabowo-Gibran
Gempa M 6,5 Guncang Garut, Warga Kalibata City Jakarta Selatan Berhamburan
Viral Emak-Emak Paksa Minta Sumbangan Sambil Teriak-Teriak di Sukabumi