Sukses

Asia Tenggara Kembangkan Jaringan Listrik untuk Atasi Perubahan Iklim

Urgensi Asia Tenggara untuk beralih ke energi ramah lingkungan guna memerangi perubahan iklim menghidupkan kembali rencana yang sudah ada sejak 20 tahun yang lalu agar kawasan ini berbagi listrik.

Liputan6.com, Jakarta - Urgensi bagi negara-negara Asia Tenggara untuk beralih ke energi ramah lingkungan guna memerangi perubahan iklim menghidupkan kembali rencana yang sudah ada sejak 20 tahun lalu agar kawasan ini berbagi listrik.

Mengutip ABC News, Kamis (16/11/2023), Malaysia dan Indonesia telah menandatangani kesepakatan di Bali pada Agustus 2023 lalu untuk mempelajari 18 lokasi potensial guna membangun jalur transmisi lintas batas.

Dari hubungan kerja sama tersebut, nantinya bisa menghasilkan listrik yang diperkirakan setara dengan produksi 33 pembangkit listrik tenaga nuklir dalam setahun. 

Berdasarkan laporan tersebut, Beni Suryadi selaku pakar ketenagalistrikan di Pusat Energi ASEAN, mengungkapkan bahwa hal ini layak secara ekonomi dan teknis, bahkan kini didukung oleh pemerintah daerah.

Di samping itu, Singapura juga telah mengimpor pembangkit listrik tenaga air dari Laos melalui transmisi Thailand dan Malaysia. Ini menandai bahwa untuk pertama kalinya empat negara di kawasan ini sepakat memperdagangkan listrik.

Sebelumnya, pembelian listrik lintas batas hanya menyumbang 2,7% dari kapasitas kawasan pada tahun 2017, itu pun hanya antara dua negara, seperti Laos dan Thailand.

Namun kini, semakin banyak negara yang memandang pembagian listrik sebagai cara untuk mengalihkan perekonomian mereka dari batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. 

Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menyadari bahwa transisi dari bahan bakar fosil memerlukan jaringan listrik yang saling terhubung, sehingga hal ini membuat permintaan listrik menjadi meningkat.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

ASEAN Berkomitmen untuk Berhenti Menyumbangkan Karbon ke Atmosfer pada 2050

Sebelumnya, negara-negara ASEAN lebih fokus pada ketahanan energi, sangat bergantung pada bahan bakar fosil, dan sering kali membangun kapasitas lebih besar dari yang dibutuhkan. 

Sementara, biaya energi terbarukan semakin menurun, sehingga pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya, dan angin menjadi lebih terjangkau. Dan semua negara ASEAN, selain Filipina, telah berkomitmen untuk berhenti menjadi penyumbang karbon ke atmosfer pada tahun 2050.

Laos, negara kecil dengan populasi hanya 7 juta jiwa, telah membangun lebih dari 50 bendungan dalam 15 tahun terakhir. Negara ini telah mengekspor listrik ke Thailand, Vietnam, dan Tiongkok. Sejauh ini mereka masih memiliki kelebihan listrik yang perlu dijual kepada negara lain di wilayah ASEAN.

Sementara itu, kondisi ini bertolak belakang dengan Singapura, yang mana merupakan negara kecil berpenduduk 6 juta jiwa dan hampir tidak memiliki sumber daya alam.

Dengan begitu, Singapura harus mengimpor energi ramah lingkungan untuk memenuhi tujuan energi terbarukannya.

Dari keterangan di atas, bisa dikaitkan bahwa jaringan listrik regional dapat membantu menjembatani kesenjangan antara tempat dimana listrik dibutuhkan dan di mana listrik dapat dihasilkan.

Selain itu, ini juga membantu negara-negara menyesuaikan diri terhadap guncangan dari luar, seperti harga minyak yang melonjak drastis. 

Jaringan yang saling terhubung juga dapat menyalurkan listrik yang andal ke masyarakat di daerah terpencil, seperti Kalimantan Barat.

3 dari 4 halaman

Kebijakan Non-Intervensi Menjadi Tantangan Negara-Negara ASEAN untuk Saling Berbagi Listrik

Salah satu kebijakan inti ASEAN adalah non-intervensi, di mana para anggota cenderung menghindari proyek bersama. Prioritas energi dalam negeri terkadang bertentangan dengan potensi manfaat dari jaringan listrik yang saling terhubung. 

Nadhilah Shani, pakar lain di Pusat Energi ASEAN mengatakan bahwa hal ini menciptakan “dilema” bagi negara-negara ASEAN. Mereka dapat menjual energi ramah lingkungan kepada negara-negara tetangga untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Akan tetapi,  mereka juga dapat menggunakan sumber daya tersebut untuk memenuhi kebutuhan iklim mereka sendiri. 

Misalnya saja, Malaysia. Pemerintah melarang ekspor energi terbarukan pada tahun 2021 untuk mencoba mengembangkan industri energi bersih dalam negeri. Namun, tahun 2023 ini larangan tersebut telah dicabut.

Sementara di Indonesia sendiri, larangan terhadap ekspor energi ramah lingkungan yang diberlakukan tahun lalu masih berlaku hingga saat ini.

 

4 dari 4 halaman

Biaya yang Tinggi Juga Menjadi Tantangan Tersendiri

Biaya untuk membangun jaringan listrik cenderung tinggi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi negara-negara ASEAN.

Pusat Energi ASEAN mengungkapkan bahwa dalam proyek ini dibutuhkan investasi sektor ketenagalistrikan sekurang-kurangnya sekitar USD 280 miliar.

Selain itu, keterlibatan Tiongkok dalam membangun sebagian besar infrastruktur energi melalui Belt and Road Initiative (BRI) juga menimbulkan kekhawatiran.

Pada tahun 2021, Laos, dengan utang begitu besar, memberikan konsesi selama 25 tahun untuk mengoperasikan jaringan listriknya kepada perusahaan yang mayoritas dimiliki oleh Tiongkok.

Namun, meskipun terjadi ketegangan antara Tiongkok dan beberapa negara tetangganya terkait sengketa wilayah dan masalah lainnya, secara umum Beijing dan ASEAN bekerja berdasarkan “kepentingan dan keuntungan bersama."

Mengingat betapa mahalnya biaya untuk membangun jaringan listrik, pendanaan swasta yang diperlukan dapat mempengaruhi bagaimana dan di mana proyek tersebut dibangun.

Namun, prioritas nasional memainkan peran yang lebih besar dibandingkan investasi Tiongkok dalam hal penyaluran listrik.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini