Sukses

Tinder dkk Buka Peluang Anak di Bawah Umur Menggunakan Layanan Seks?

Aplikasi kencan Tinder, Grindr, dan Bumble diduga memungkinkan anak di bawah umur untuk menggunakan layanan seks.

Liputan6.com, Jakarta - Aplikasi kencan Tinder, Grindr, dan Bumble diduga memungkinkan anak di bawah umur untuk menggunakan layanan seks dan dan terlibat dengan pelaku kejahatan seksual.

Masalah ini pun tengah diinvestigasi oleh komite yang dibentuk pemerintah Amerika Serikat.

Dalam keterangan resmi yang dikeluarkan, pemimpin komite Raja Krishnamoorthi mengirimkan surat ke Match Group Inc, induk usaha dari sejumlah aplikasi kencan.

Surat itu bertujuan untuk mencari informasi terkait dengan laporan, yang menyebut sejumlah aplikasi kencan milik Match Group telah gagal menyaring pengguna di bawah umur.

Kegagalan penyaringan pengguna ini pun dinilai telah menciptakan situasi berbahaya dan tidak pantas. Karena masalah ini, penyedia layanan aplikasi kencan bakal diminta untuk menyerahkan informasi penggunanya.

Misalnya tentang usia pengguna, prosedur yang dipakai untuk memverifikasi usia pengguna, dan setiap keluhan yang diajukan pengguna terkait dengan penyerangan, pemerkosaan, atau penggunaan oleh anak di bawah umur.

"Kepedulian kami terkait penggunaan aplikasi kencan pada anak di bawah umur berasal dari sejumlah laporan terhadap sejumlah aplikasi kencan gratisan populer yang mengizinkan pelaku kejahatan seksual memakainya," kata Krishnamoorthi, sebagaimana dikutip dari The Next Web, Selasa (4/2/2020).

Sementara, menurut Khrisnamoorthi, versi berbayar dari aplikasi-aplikasi kencan ini menyaring pelaku kejahatan seks yang terdaftar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Komentar Pemilik Layanan Tinder

Ia melanjutkan, perlindungan terhadap para predator dan pelanggar seks harusnya adalah milik semua pengguna, bukan hanya pengguna premium.

Adapun laporan yang digunakan oleh Krishnamoorthi merujuk pada laporan dari media-media seperti ProPropublica, BuzzFeed, dan Columbia Journalism Investigations, beberapa tahun lalu.

Laporan ini memuat lebih dari 150 kasus penyerangan seksual yang melibatkan aplikasi kencan. Bahkan, 10 persen melibatkan pengguna yang pernah dihukum karena kekerasan seksual.

hingga berita diterbitkan, juru bicara Match Group menyebut data-data di laporan tersebut tidaklah akurat. Juru bicara itu juga enggan memberikan komentar terkait sejumlah fakta yang dipaparkan.

Meski begitu, dalam pernyataan disebutkan bahwa Match Group tidak mengumpulkan cukup data pada pengguna gratisnya untuk melakukan pemeriksaan latar belakang sebelum mendaftar ke aplikasi kencan mereka.

3 dari 3 halaman

Kembangkan Tools untuk Cegah Kejahatan Seksual

"Seiring teknologi yang berevolusi, kami terus mengembangkan tools untuk mencegah pelaku kejahatan, termasuk pengguna yang memakai produk gratisan seperti Tinder, Plenty of Fish, dan OkCupid yang kini tidak mendapatkan informasi cukup," kata dia.

Match Group dalam pernyataannya juga mengatakan, daftar pelaku kejahatan seks di Amerika perlu diperbarui. Dengan begitu, para pelaku yang meninggalkan jejak digital bisa dilacak dan diblokir oleh penyedia layanan aplikasi kencan.

Selain membagikan usia pengguna, aplikasi-aplikasi kencan yang diinvestigasi juga diminta untuk menyerahkan kebijakan privasi mereka dan bagaimana perusahaan menangani data pengguna, termasuk orientasi seksual, pandangan politik, dan lain-lain.

Ini bukan satu-satunya kontroversi di kalangan aplikasi kencan. Awal minggu ini, sebuah laporan di Gizmodo menemukan bahwa Panic Button Tinder malah membagikan data pribadi pengguna kepada perusahaan iklan, termasuk Facebook dan YouTube.

(Tin/Isk)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.