Sukses

Media Sosial Ternyata Berpotensi Picu ADHD, Apa Itu?

Berdasarkan penelitian terbaru dari Jornal of the American Medical Association (JAMA), akses media sosial yang berlebihan oleh remaja berdampak pada potensi ADHD.

Liputan6.com, Jakarta - Tak dimungkiri, kehidupan remaja saat ini sudah begitu lekat dengan smartphone. Salah satu yang layanan yang kerap diakses generasi muda saat menggunakan perangkat itu adalah media sosial.

Awalnya, akses media sosial dianggap hanya bagian dari ekspresi diri atau mengakses informasi. Namun, siapa sangka di balik penggunaan media sosial tersimpan bahaya yang tidak disadari.

Berdasarkan penelitian terbaru dari Jornal of the American Medical Association (JAMA), akses media sosial yang berlebihan oleh remaja berdampak pada potensi attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD).

Sekadar informasi, ADHD merupakan sindrom gangguan jangka panjang. Biasanya, ADHD diikuti dengan gejala khas, seperti perilaku impulsif, kurang perhatian dan hiperaktif.

Dilansir Fox News, Minggu (22/7/2018), studi menemukan kebiasaan mengecek media sosial, mulai dari sekadar melihat-lihat, mengomentari unggahan orang lain, termasuk aktivitas digital lain, ternyata meningkatkan kemungkinan mengalami ADHD dalam dua tahun. 

Menurut studi, remaja yang mengakses media sosial dalam frekuensi tinggi, ternyata memenuhi kriteria penderita ADHD, dibandingkan remaja yang tidak terlalu sering mengakses media sosial. Indikasinya adalah konsentrasi yang berkurang dan perilaku impulsif. 

Associate Editor di NEJM Journal Watch Jenny Radesky menuturkan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah frekuensi penggunaan media sosial di usia 15 dan 16 tahun tanpa tanda-tanda ADHD dapat kemudian berubah menjadi ADHD.

Para peneliti melakukan survei pada lebih dari 2.500 siswa dengan usia antara 15 hingga 16 tahun dari 10 SMA Los Angeles antara tahun 2014 dan 2016.

Hasilnya, siswa yang dilaporkan mengalami enam atau lebih gejala hiperaktif-impulsif memiliki gejala positif ADHD. 

Kendati demikian, bukan berarti remaja tidak boleh mengakses media sosial sama sekali. Para peneliti menyarankan agar akses media sosial lebih dikontrol dan tidak sampai mengganggu aktivitas lain, seperti tidur, membaca, atau berolahraga.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Psikolog: Media Sosial Picu Krisis Kepercayaan Diri pada Remaja

Sebelumnya, pengamatan Jean Twenge, psikolog di San Diego State University, media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, ternyata bisa memicu krisis kepercayaan diri bagi pengguna--khususnya kalangan remaja.

Twenge berujar, media sosial menciptakan pola keterikatan secara rutin, yang 'mengikat' pengguna untuk terus membukanya demi mengakses informasi.

"Akan tetapi, sayangnya ini juga mengisolir mereka. Akibatnya, para remaja tidak memiliki waktu untuk keluarga dan teman-temannya. Kontak sosial mereka seolah-seolah terblokir," kata Twenge.

Karena terisolir, remaja akan terus mengandalkan media sosial sebagai temannya. Di saat lingkungan sekitar dapat menerima keterbukaan informasi yang lebih agresif, ia justru akan menjadi yang tertinggal.

"Media sosial itu memang menghubungkan pengguna, entah dengan ke pengguna lain atau ke informasi baru. Padahal tidak juga, ini dapat mengurangi rasa percaya diri mereka. Mereka lupa kontak sosial lebih berguna. Kontak sosial banyak bentuknya, menerima informasi baru dari mulut ke mulut, berkomunikasi dengan kerabat, dan masih banyak lagi," lanjutnya.

Menurut Twenge, masalah terjadi pada remaja yang lahir di periode 1995-2012. Generasi ini sudah mengenal smartphone dan menganggapnya sebagai perangkat utama.

Mirisnya, jumlah remaja yang lahir pada periode tersebut mengaku jarang menemui teman-temannya. "Sejak 2000, mengalami penurunan 40 persen. Dan pada 2015, cuma ada 56 persen remaja yang pergi bersosialisasi," imbuh Twenge.

Twenge juga mengungkap, remaja modern ini juga dianggap lambat untuk belajar dan berkembang. Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu sendiri di dalam kamar, terus-terusan 'tenggelam' di dalam linimasa media sosial.

"Mereka bisa stress dan depresi karena terus-terusan seperti ini," ucapnya.

3 dari 3 halaman

Berujung pada Depresi

Sebelumnya, penelitian juga mengungkap media sosial dapat memicu efek depresi pada pengguna remaja. Penelitian telah dilakukan ke subjek kalangan remaja berumur 13-17 tahun yang sering menggunakan smartphone-nya untuk 'berinteraksi' di jejaring sosial.

Mengutip informasi laman The Independent, penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti asal Kanada, International Association of Cyber Psychology, Training & Rehabilitation (iACToR) dengan melakukan observasi pada 750 subjek yang merupakan remaja dari berbagai institusi pendidikan di wilayah Ontario.

Penelitian yang juga dipublikasikan lewat jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking ini mengungkap penggunaan medsos yang terlampau berlebihan rupanya mampu menunjukkan indikasi si pemilik jejaring sosial memiliki masalah gangguan mental dan memicu depresi.

"Kapasitas penggunaan jejaring sosial harusnya dibatasi sebagaimana mestinya. Jika digunakan terus menerus dalam jangka waktu berjam-jam, hal tersebut akan menciptakan rasa candu bagi para pengakses," ungkap tim peneliti.

Menurutnya, hal itu mengubah cara pandang pengguna bahwa jejaring sosial termasuk ke hal primer di dalam kehidupan pengguna. Bahayanya, penggunaan jejaring sosial secara berlebihan dapat berdampak negatif pada penggunanya.

"Jejaring sosial berfungsi sebagai alat komunikasi dan pencari informasi jika memang dibutuhkan. Namun hal tersebut bisa berubah fungsi 360 derajat menjadi sebuah 'pengisi dahaga' penggunanya ketika sedang kesepian," tambahnya.

Observasi yang telah dilakukan tim peneliti menyimpulkan sebagian besar dari 750 subjek anak remaja tersebut memang kerap kali tidak memiliki kegiatan apa-apa khususnya pada waktu malam hari. Oleh karena itu, mereka mengakses jejaring sosial sebagai 'teman' agar bisa mengisi kesepian mereka.

"Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengalami tanda depresi, jika ini terus dilakukan, mereka akan melakukan hal lebih ekstrem seperti tindakan bunuh diri atau cyberbullying," tukasnya.

Mereka menambahkan, seharusnya ketika kesepian para anak remaja bisa melakukan kegiatan positif yang lebih menggaet mereka ke perkembangan fisik dan mental yang lebih sehat, seperti berolahraga, membaca buku, mendengarkan musik dan masih banyak lagi.

"Sudah seharusnya fungsi dari jejaring sosial dibatasi. Selagi masih ada waktu dan belum terlambat, kini peran orang tua yang harus mengawasi anak mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

(Dam/Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.