Sukses

Abdoel Moeis adalah penyair asal Indonesia

Informasi Profil

  • Nama LengkapSitok Sunarto
  • Tanggal Lahir3 Juli 1883
  • Wafat17 Juni 1959
  • Tempat LahirSungai Puar, Agam, Sumatera Barat
  • ProfesiPenyair, Penulis.

Berita Terkini

Lihat Semua
Topik Terkait

    Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan asal Indonesia. Pria yang lahir pada tanggal 3 Juli 1883 ini adalah salah satu pengurus Sarekat Islam dan juga menjadi anggota dari Volksraad.

    Lahir dan besar di Minangkabau, putra dari Sultan Sulaiman ini lahir dari figur seorang bapak yang menentang keras keberadaan Belanda di kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia pun hijrah ke Jakarta guna melanjutkan pendidikannya di Stovia, namun karena penyakitnya ia harus rela menghentikan pendidikannya.

    Setelah menjadi bagian dari revolusi perlawanan terhadap Belanda, Abdoel Moeis wafat pada tanggal 17 Juni 1959, jasadnya dimakamkan di Taman Pemakaman Cikutra yang terletak di kota Bandung.

    Selama 76 tahun hidupnya, ia telah merilis empat buah novel yaitu Salah Asuhan di tahun 1928, Pertemuan Jodoh pada tahun 1993, Surapati di tahun 1950 dan Robert Anak Suropati tiga tahun berselang.

    Selain aktif menulis, ia aktif menerjemahkan novel bahasa Inggris, di antaranya adalah Tom Sawyer Anak Amerika karya penulis tersohor Mark Twain pada tahun 1928 dan Sebatang Kara karya Hector Malot 1922.

    Pahlawan Nasional Pertama

    Jika ada yang menyebutkan nama Abdul Muis, mungkin yang pertama terlintas di pikiran kita adalah novel Salah Asuhan. Benar, novel itulah yang membuat namanya terkenal. Tak hanya dijadikan bahan pelajaran di sekolah-sekolah, Salah Asuhan juga sudah diangkat ke layar lebar.

    Namun, Salah Asuhan bukan satu-satunya karya Abdul Muis. Bahkan, dia tak hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang wartawan dan pejuang di zamannya. Hebatnya lagi, 2 bulan setelah meninggal dunia, Abdul Muis ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Inilah kali pertama penetapan pahlawan nasional yang kemudian menjadi tradisi.

    Abdul Muis atau Abdoel Moeis lahir pada 3 Juni 1883 di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak remaja, ia sudah meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya dihabiskan di perantauan.

    Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia juga pernah belajar di Stovia selama 3,5 tahun (1900--1902). Namun karena sakit ia keluar dari sekolah kedokteran tersebut.

    Dengan beragam liku jabatan yang diemban, tetap saja nama Abdul Muis lebih lekat sebagai sastrawan. Padahal, bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya.

    Dengan menggunakan inisial nama A.M., ia menulis hanyak hal. Salah satu di antaranya adalah roman sejarah Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal cerita bersambung di harian Kaum Muda.

    Sebagai sastrawan, Abdul Muis memang kurang produktif. Ia hanya menghasilkan 4 buah novel atau roman dan beberapa karya terjemahan. Namun, dari karyanya yang sedikit itu, Abdul Muis tercatat dalam sejarah sastra Indonesia.

    Karya besarnya, Salah Asuhan dianggap sebagai corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.

    Mendirikan Surat Kabar

    Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.

    Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Pada 1926, Serikat Islam mencalonkan dia dan terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. 6 Tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia.

    Karena sudah merasa tua, pada 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun, pada era setelah Proklamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.