Sukses

SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 1)

Baru memulai karier, aku berteman dengan selebgram cantik biang sensasi negeri ini. Rekaman percakapan penuh rayu kami viral. Aku dituduh pansos. Siapa aku? Ikuti Showbiz Blak-Blakan.

Liputan6.com, JakartaArtis setingan! Kalau enggak digosipkan lagi indehoy sama selebgram biang sensasi dan rekaman percakapannya enggak viral di medsos, lo mana bisa terkenal kayak sekarang?

Halah dia, kan pansos sama Mbak Selebgram cantik. Coba kalau rekaman percakapan mereka lagi indehoy di kelab enggak viral, mana ada yang ngeh sama namanya?

Oh jadi ini yang habis icip-icip asoy dengan Mbak Selebgram di kelab remang-remang papan atas, ya? Happy famous, Mas Bro! Lumayanlah, ya jumlah follower jadi nambah puluhan ribu sehari.

Itu hanya tiga dari ratusan komentar yang menumpuk di kolom komentar Instagramku. Ini bermula ketika aku, Cakra Wibawa, berkenalan dengan seorang selebgram cantik dengan pengikut jutaan. Sebut saja namanya, Nala Cahya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 9 halaman

Drama Baru di Instagram

Usai dugem, kami mampir ke kedai kopi yang buka 24 jam, di dekat kelab, di sebuah kawasan mewah di Bali. Lewat tengah malam, aku sok-sokan merayu Nala dan sempat terucap kata-kata sensitif soal organ tubuh perempuan.

Adu rayu antara aku dan Nala direkam sejumlah sahabat. Entah siapa yang menyebarkan di Instagram. Makin heboh karena dipublikasikan pula oleh sebuah akun gosip Instagram. Beberapa kali awak media menghubungiku dan meminta waktu untuk wawancara.

Aku jawab tidak bisa sekarang karena masih berlibur di Bali. Tiga hari kemudian aku kembali ke Jakarta. Kupikir situasi mereda. Eh, Nala malah bikin drama baru dengan membuka sesi tanya jawab di Instagram Stories. 

3 dari 9 halaman

Ternyata Bablas Itu Menyenangkan

Aku tahu setelah seorang sahabat (bukan dari kalangan artis) mengirim lima tangkapan layar sesi tanya jawab dengan warganet +62 yang budiman. Dari lima tangkapan layar itu, ada satu yang bikin aku gondok setengah mati.

Yakni, saat seorang warganet bertanya, “Benaran itu indehoy sama MasCak?” Bukannya meredakan, Nala malah memanaskan suasana dengan bilang, “Sama-sama suka dan ndilalah kebablasan. Ternyata bablas itu menyenangkan, shay!What the… 

Prediksiku meleset. Sejumlah awak media tetap menghubungiku via ponsel atau fitur direct message Instagram dari tabloid, majalah, hingga situs berita hiburan. Sebagian kulayani, sebagian lagi tak sempat karena ada sejumlah pekerjaan menanti. 

4 dari 9 halaman

Pansos Oh Pansos...

Hal lain yang menurutku menyakitkan, tudingan pansos alias panjat sosial. Benar bahwa selebgram, selebtwit, dan YouTuber kini mulai disejajarkan dengan artis. Mereka kini punya kesempatan menjadi bintang tamu gelar wicara hingga main film.

Tapi apa yang dilakukan Nala padaku sebenarnya kelewat batas. Aku keberatan. “Mending lo sekarang cari manajer, deh. Jadi permintaan wawancara biar diatur sama manajer termasuk volume pekerjaan dan kontrak dengan pihak kedua,” saran Sanny, sahabatku sejak SMA sekaligus teman menongkrong.

Kami nongkrong di kedai kopi di sebuah mal papan atas di Jakarta Selatan. Aku mengangguk lalu berbagi pendapat. “Menarik, sih. Tapi karier gue, kan baru saja mulai. Kayaknya gue masih bisa memilih pekerjaan sendiri, menentukan angka, dan mengatur jadwal kerja, San. Nanti, deh kalau gue sudah mulai kelabakan, baru gue cari manajer,” kataku.

 

5 dari 9 halaman

Cowok Nala Tak Ada Yang Jelas

“Terus hubungan lo sama Nala sekarang bagaimana?” Sanny bertanya.

“Gue malas kontak sama dia. Enggak mau lagi bersinggungan sama dia lebih tepatnya. Kesannya jadi gue yang mendompleng popularitas padahal gue tahu kok, dia juga menikmati. Lagian cowok-cowok dia selama ini enggak ada yang lumayan. Baru gue doang yang enak dilihat. Sorry ya, gue juga punya harga diri,” cetusku.

“Sombong!” seru Sanny, sewot.

“Lah, lo lihat aja tiga cowok Nala sebelumnya. Mana ada yang beres. Dari yang muka ala kadarnya tapi banyak omong sampai yang muka lumayan tapi pas ngomong subjek predikat objek keterangannya enggak jelas. Bahasa Inggrisnya juga enggak jelas. Ya, kan?”

6 dari 9 halaman

Aku Lagi Butuh Uang

Kepada Sanny aku kemudian bercerita akan ikut audisi untuk sebuah sinetron harian di salah satu stasiun televisi swasta. Sinetron masih berupa proyek percobaan beberapa episode, sih lalu dipresentasikan ke Direktur Program stasiun televisi yang bersangkutan.

Saat membaca naskah tiga episode pertama, aku nyengir. Well, ceritanya enggak baru, sih kalau tak mau dibilang basi. Judulnya, (sebut saja) Satu Cinta Dua Pilihan.

Intinya, sih cinta segitiga yang diwarnai perebutan harta. Basi, kan? Tapi enggak apa-apalah mengingat jujur, aku lagi butuh uang. Lagian kalau main sinetron mana bisa kita bicara kualitas. Sanny menepuk pundakku. 

7 dari 9 halaman

Setengah Aktif Setengah Pasif

“Ayolah, Cakra. Gue selalu percaya lo pasti bisa. Semua orang pernah meremehkan lo saat terpilih ikut olimpiade sains. Mereka bilang bahasa Inggris setengah aktif setengah pasif kok nekat ikut kejuaraan di luar negeri. Ya, kan?” Sanny menyemangatiku.

“Ya, tapi waktu itu gue gagal jadi juara,” aku menyela.

“Juara dua tetap dapat medali. Lo pulang tidak dengan tangan kosong. Waktu itu Edward si tukang bully mulutnya langsung kicep, kan? Sekali ini lo pasti bisa. Asal jangan cepat puas atau merasa sudah di atas. Itu kelemahanmu sejak dulu,” ucapnya sambil menghabiskan caramel macchiato favoritnya.

Aku tersenyum. “Iya, Bu Guru,” jawabku setengah meledek. Sanny, tuh suka sok tua.

8 dari 9 halaman

Habis Kecelakaan, Kehilangan Suara

Seminggu berlalu, aku mendatangi kantor rumah produksi (sebut saja) Motion Pictures. Aku didapuk memerankan karakter Baruno alias Nuno, karakter pendukung yang ke depan, dikembangkan berbasis cerita samping tokoh utama Satu Cinta Dua Pilihan.

Yang kudengar, penulis naskah punya rencana jangka panjang. Jika sinetron ini meledak, Nuno akan jadi bayang-bayang pemeran utama. Semeriah itu. Di depan kamera, aku menampilkan Nuno sehabis kecelakaan dan harus berkomunikasi dengan bahasa isyarat karena kehilangan suara. 

 

9 dari 9 halaman

Sambil Merem...

Aku diminta belajar bahasa isyarat selama 2 jam lalu mempraktekkannya di depan kamera. Produser dan penulis naskah yang melihat aktingku tersenyum. Yang bikin aku lega bukan kepalang, sutradara, Budi Prayitno, tepuk tangan.

“Begini, Cak. Paling cepat seminggu lagi satu di antara kami bertiga bakal kabari lo langsung. Soalnya lo belum ada manajer, kan? Jadi pastikan ponsel lo nyala,” kata Mas Budi.

“Siap, makasih sebelumnya, Mas,” ujarku sambil memberi hormat kepada mereka bertiga.

Keluar dari ruang audisi aku langsung mengabari Sanny via WhatsApp. Sanny membalas, “Sambil merem juga minggu depan lo pasti disuruh siap-siap syuting.” (bersambung)

 

 

(Anjali L.)

 

Disclaimer:

Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.   

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini