Sukses

Strategi Investasi Hadapi Siklus Ekonomi yang Dinamis

Siklus ekonomi yang dinamis berdampak terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan berpengaruh ke reksa dana saham.

Liputan6.com, Jakarta - Syailendra Capital menilai investor dapat mengkombinasikan strategi investasi rutin (DCA/dollar cost averaging) dan lump-sum sesuai pasar. Kombinasi strategi investasi ini untuk hadapi siklus ekonomi yang kerap berganti dalam 10 tahun terakhir.

Siklus ekonomi yang dinamis tersebut berdampak terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan berpengaruh ke reksa dana saham.

Dalam Syailendra Market Insight 16 Februari 2024, dikutip Senin (19/2/2024), dalam 10 tahun terakhir, musim ekonomi berganti-ganti dengan signifikan. Dari 2013 dan 2019, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang moderat dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 5 persen.

Sepanjang periode itu banyak event-event global yang sangat mempengaruhi pasar saham seperti krisis ekonomi Eropa 2005, perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dimulai 2018 lalu diikuti dengan krisis ekonomi global akibat COVID-19 pada 2020.

Kemudian pemulihan mulai terjadi sejak 2021 hingga sekarang. Dalam laporan itu disebutkan pasar saham mengalami pergerakan yang sangat volatile dalam 10 tahun terakhir. Hal ini membuat kinerja reksa dana saham secara jangka panjang menjadi kurang baik.

“Namun, jika investor dapat mengkombinasikan strategi investasi secara rutin dan lump-sump sesuai dengan kondisi pasar diharapkan kinerja investasi akan menjadi lebih baik,” demikian disebutkan dalam laporan Syailendra Capital.

Syailendra menilai sangat penting bagi investor untuk memiliki prospek pasar ke depan sebelum menentukan strategi investasi apa yang ingin diterapkan.

Syailendra menambahkan, strategi investasi secara dollar cost averaging memang cukup ampuh dalam memitigasi risiko volatilitas pasar ke depan.

“Sementara itu, strategi investasi secara lump-sum juga penting untuk dilakukan khususnya ketika investor memiliki pandangan pasar akan bullish ke depannya,” demikian dikutip dari Syailendra.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Tiga Skenario

Periode

During Berish Market (Maret 2019-Maret 2020)

Pada musim ekonomi resesi, pasar saham mengalami penurunan yang signifikan seiring dengan ekspektasi penurunan laba perusahaan. Jika investor melakukan investasi secara lump-sump pada reksa dana saham, penurunannya akan lebih banyak dibandingkan dengan investor yang menerapkan strategi dollar cost averaging.

U Shape Recovery (Maret 2019-Maret 2020)

Pada musim ekonomi yang mengalami transisi dari perlambatan, resesi, lalu menuju recovery, risiko investasi pada reksa dana saham menjadi lebih tinggi.

Jika investor melakukan investasi secara lump sump pada reksa dana saham, returnnya akan lebih sedikit dibandingkan dengan investor yang menerapkan strategi dollar cost averaging.

Bullish Period (Maret 2020-Maret 2021)

Pada masa perbaikan ekonomi yang signifikan, investor yang berinvestasi secara lum-sum lebih diuntungkan dibandingkan investasi secara berkala (DCA).

Bullish period terjadi pada Maret 2020-Maret 2021 di mana angka pertumbuhan ekonomi sempat mengalami level terendah pada level -5,32 persen pada kuartal II 2020 dan mengalami pemulihan secara signifikan setahun setelahnya dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi yang mencapai level 7,07 persen pada kuartal II 2021.

Syailendra menyebutkan, jika dilihat dari tiga macam skenario pergerakan pasar saham yakni pergerakan bullish, bearish dan u shape recovery, ternyata strategi investasi secara dollar cost averaging memiliki keunggulan dibandingkan strategi investasi secara lump-sump, karena memberikan kinerja yang lebih baik pada dua skenario yakni bearish dan u shape.

“Sedangkan strategi lump-sump hanya unggul jika pasar saham mengalami pergerakan yang bullish saja. Sehingga penting bagi investor untuk menerapkan strategi investasi kombinasi lump-sump dan dollar cost averaging,”

3 dari 4 halaman

BEI Bidik 2 Juta Investor Baru hingga Transaksi Harian Tembus Rp 12,25 Triliun

Sebelumnya diberitakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) mematok sejumlah target untuk 2024. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman mengatakan target tahun depan merupakan tindak lanjut dari apa yang telah dilakukan BEI tahun ini.

"Jadi tahun depan adalah tidak lanjut dari apa yang kami lakukan di tahun ini. Dengan tetap fokus pada tiga hal. Perlindungan investor, pendalaman pasar, lalu sinergi dan konektivitas regional," kata Iman dalam Konferensi Pers Penutupan Perdagangan BEI 2023, Jumat (29/12/2023).

Bursa menargetkan rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) Rp 12,25 triliun. Lalu pencatatan efek ditargetkan mencapai 230 pencatatan efek, dan penambahan 2 juta investor baru. Tahun depan, Bursa juga akan meluncurkan instrumen investasi kontrak berjangka saham atau single stock futures (SSF) pada kuartal I 2024.

"Target 2024 RNTH kita adalah Rp 12,25 triliun. Sementara kalau kita lihat RKAP revisi kita Rp 10,75 triliun itu sama dengan RNTH per kemarin," ujar Iman.

Sebagai perbandingan, target RBTH tahun ini senilai Rp 10,75 triliun, yang sudah tercapai pada 28 Desember 2023. Kemudian tahun ini Bursa menargetkan 200 pencatatan efek, sementara realisasinya mencapai 385 pencatatan efek. Tahun ini, Bursa menargetkan 2,5 juta investor baru, namun realisasinya hingga 28 Desember hanya 1,8 juta investor baru.

"Untuk angka investor, dengan perubahan pandemi menjadi endemi, investor terutama ritel, mereka tidak hanya transaksi saham," pungkas Iman.

 

 

4 dari 4 halaman

Pemilu 2024, Bos BEI Optimistis Pasar Modal Bergairah

Sebelumnya diberitakan, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Iman Rachman optimis pasar modal akan tetap resilien pada perhelatan pemilihan umum (pemilu) tahun depan. Secara historis, Iman mencatat indeks harga saham gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja solid pada momentum pemilu sebelumnya.

"IHSG secara historis sebenarnya di tahun-tahun politik, di saat pemilihan, justru IHSG kita menunjukan peningkatan... Menghadapi pemilu di Februari tahun depan, mudah-mudahan ini mulai terlihat di akhir di penutupan indeks kita meningkat," kata Iman dalam Konferensi Pers Penutupan Perdagangan BEI 2023, Jumat (29/12/2023).

Sebagai gambaran, pada 1999, IHSG tumbuh 70,06 persen dengan pertumbuhan kapitalisasi pasar 157,11 persen. Pada pemilu selanjutnya yakni 2004, IHSG naik 44,56 persen dan 47,70 persen pada kapitalisasi pasar.

Pada 2009, IHSG naik 86,98 persen dan kapitalisasi pasar tumbuh 87,59 persen. Pada 2014, IHSG naik 22,29 persen dengan kapitalisasi pasar tumbuh 23,92 persen. Terakhir, pada 2019 lalu IHSG naik tipis 1,70 persen dengan kenaikan kapitalisasi pasar 3,44 persen.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.