Sukses

Prospek Resesi Berkurang pada 2023, Ini Alasannya

Isu resesi ramai diperbincangkan pada 2023. Akan tetapi, data ekonomi yang tersaji baru-baru ini, membuat sejumlah lembaga keuangan mereview potensi resesi ke depan.

Liputan6.com, Jakarta - Resesi yang banyak dibicarakan pada 2023, masih belum terjadi. Ekonom pun menjadi kurang oercaya diri kalau hal tersebut akan terjadi sama sekali.

Dikutip dari Yahoo Finance, Minggu (11/6/2023), pekan ini, tim ekonom Wells Fargo menjadi kelompok yang mereview prospek resesi. Wells Fargo sekarang melihat resesi melanda pada awal 2024 karena data ekonomi baru-baru ini mengungkapkan ekonomi “belum di ambang resesi”.

Ekonom Wells Fargo berharap efek tertunda dari pengetatan moneter dan ketersediaan kredit yang lebih ketat untuk meredam pertumbuhan ekonomi. “Ekonomi telah terbukti lebih tangguh dari yang kami perkirakan. Akibatnya, kami telah mendorong kembali harapan untuk dimulainya kontraksi ekonomi hingga kuartal I 2024,” tulis ekonom Wells Fargo.

Wells Fargo bukan satu-satunya yang menjadi lebih optimistis tentang prospek ekspansi ekonomi pada 2023. Goldman Sachs memangkas peluang resesi pada 2023 dari 35 persen menjadi 25 persen awal pekan ini.

Sementara itu, kepada Yahoo Finance, Ekonom Bank of America Michael Gapen menuturkan, ada peningkatan jalur menuju pendaratan lunak atau resesi ringan. COO Goldman Sachs John Waldron mengatakan, bahkan ada kasus tanpa resesi.

Prospek positif mengikuti data ekonomi yang sering disebut oleh ekonom sebagai “tangguh”. Pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) menambah 339.000 pekerjaan pada Mei, kenaikan bulanan terbesar sejak Januari. Pembukaan pekerjaan AS pada April juga mengejutkan. Di sisi lain, konsumen terus melanjutkan konsumsi meski inflasi tetap.

Pada Kamis, the Fed Atlanta prediksi ekonomi AS bakal tumbuh 2,2 persen pada kuartal II. Biasa penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut akan dianggap sebagai tanda resesi resmi.

“Kami sekarang menduga bahwa ekonomi tidak mungkin jatuh ke dalam resesi segera setelah kuartal II, seperti yang telah kami perkirakan sebelumnya, dan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk terjadinya penurunan yang berarti di pasar tenaga kerja,” tulis Capital Economics.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Potensi Resesi Ringan

Perdebatan resesi muncul saat pelaku pasar di wall street bertanya-tanya bagaimana ekonomi akan bereaksi terhadap keputusan bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) yang saat ini agresif menaikkan suku bunga dalam 40 tahun. Ekonomi dapat turun dari kenaikan suku bunga dengan “pendaratan keras” di mana the Fed menyebabkan resesi yang dalam dan pengangguran melonjak secara signifikan atau pendaratan lunak, di mana ekonomi AS hanya sedikit melambat.

Gapen mencatat “resesi ringan” yang diproyeksikan oleh Bank of America sejalan dengan deskripsi pendaratan lunak. Kemungkinan ini telah meningkat secara keseluruhan selama beberapa minggu terakhir karena kejatuhan kredit dari keruntungan Sillicon Valley Bank tampaknya telah berkurang dan debat plafon utang di Washington telah diselesaikan.

“Kecuali stress bank memburuk dan krisis kredit terungkap, lebih sulit untuk melihat dari mana datangnya risiko hard landing saat ini,” ujar Gapen.

3 dari 5 halaman

Eropa Resmi Jatuh ke Jurang Resesi

Sebelumnya, dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, masyarakat Eropa tengah dihadapkan situasi yang sulit. Ini dikarenakan, Uni Eropa resmi jatuh ke jurang resesi. Tercatat, secara dua kuartal berturut-turut, ekonomi Benua Biru tersebut tidak tumbuh. Dengan demikian, eropa jatuh resesi.

Uni Eropa tercatat pertumbuhan ekonominya negatif 0,1 persen di kuartal pertama 2023. Hal in melanjutkan tren buruk yang dialami selama akhir 2022.

Dikutip dari BBC, Jumat (9/6/2023), pada kuartal akhir 2022, tingkat konsumsi rumah tangga di Uni Eropa sudah turun 1 persen. Kemudian data terakhir kuartal I-2023 konsumsi rumah tangga masih nyungsep 0,3 persen.

Sebagai ekonomi terbesar di Eurozone, statistik Jerman menunjukkan bahwa ekonomi terbesar di Eropa itu mengalami resesi pada awal 2023.

Lalu, kontraksi ekonomi Irlandia melebar menjadi 4,6 persen dari perkiraan awal sebesar 2,7 persen, meskipun hal negatif ini disebabkan dampak pertumbuhan perusahaan multinasional besar di sana.

Inflasi Melonjak

Selain itu, pemicu lain terjadinya resesi adalah inflasi di zona euro melonjak tahun lalu ketika invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina membuat harga energi melonjak. Meski kini sudah mereda, inflasi tetap tinggi dan menyentuh 6,1 persen di bulan Mei.

 

4 dari 5 halaman

Jerman Masuk Jurang Resesi, Ekonomi Kontraksi 0,3 Persen pada Kuartal I 2023

Perekonomian Jerman sedikit menyusut pada kuartal pertama 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Penyusutan ini mendorong Jerman memasuki resesi teknis.

Data dari Kantor Statistik Federal, Destatis menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman turun 0,3 persen di kuartal pertama 2023.

"Setelah pertumbuhan PDB memasuki wilayah negatif pada akhir tahun 2022, ekonomi Jerman kini mencatat dua kuartal negatif berturut-turut," kata Presiden Destatis, Ruth Brand, dikutip dari Deutsche Welle Kamis (25/5/2023)..

Angka PDB negara ekonomi terbesar Eropa pada Januari hingga Maret 2023 mengikuti penurunan 0,5 persen pada kuartal keempat tahun 2022.

Seperti diketahui, resesi umumnya didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.

"Butuh beberapa revisi statistik, tetapi pada akhirnya, ekonomi Jerman benar-benar melakukan musim dingin ini seperti yang kami khawatirkan sejak musim panas lalu," ungkap ekonom ING, Carsten Brzeski dalam sebuah catatan kepada klien.

Brzeski menyebut, cuaca musim dingin, rebound dalam aktivitas industri, dibantu oleh pembukaan kembali China dan pelonggara rantai pasokan tidak cukup kuat untuk mengeluarkan ekonomi Jerman dari zona bahaya resesi.

 

5 dari 5 halaman

Inflasi Jerman Tinggi

Ditambah lagi, tingginya inflasi di Jerman terus berdampak pada ekonomi negara itu selama kuartal tersebut.

Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga yang turun 1,2 persen quarter-on-quarter setelah penyesuaian harga dan musiman.

Rumah tangga di Jerman membelanjakan lebih sedikit untuk makanan, minuman, pakaian, sepatu, dan furnitur dibandingkan kuartal sebelumnya. Mereka juga membeli lebih sedikit mobil baru, kemungkinan karena subsidi pemerintah dihentikan pada akhir tahun 2022.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini