Sukses

Membedah Instrumen Investasi yang Berpotensi Cuan pada 2023

Investor dinilai sudah cukup antisipasi terhadap kondisi ekonomi global yang dilanda ketidakpastian. Hal ini seiring bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) tidak akan agresif.

Liputan6.com, Jakarta - Kondisi ekonomi global yang dilanda ketidakpastian menimbulkan kekhawatiran pasar. Meski begitu, investor tampaknya sudah cukup antisipatif, merujuk pada sinyal bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) yang diperkirakan tidak akan agresif menaikkan suku bunga, seiring inflasi yang mulai terkendali.

Vice President of Sales and Distribution PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Felicia Iskandar menilai, tahun ini menjadi kesempatan untuk investasi pada aset-aset di pasar modal, baik obligasi maupun di pasar saham.  

"Pada semester I, karena kondisi suku bunga kelihatan cenderung akan stay atau terjadi pemangkasan dan inflasi cenderung lebih terkendali dibanding tahun lalu, akan berikan peluang dari sisi kenaikan aset interest rate sensitive seperti obligasi,” kata dia dalam Money Buzz, ditulis Rabu (29/3/2023).

Menurut dia, pada paruh pertama 2023 lebih banyak katalis positif untuk obligasi. Salah satunya mengacu pada perkiraan kapan suku bunga akan mengalami perubahan. Menurut dia, waktu terbaik untuk masuk obligasi adalah sekitar 3 bulan sebelum momentum itu.

"Momentum ideal based on historical untuk beli obligasi dengan kondisi most likely tidak ada kenaikan suku bunga, biasanya 3 bulan sebelum interest rate pick,” ujar Felicia.

Misalnya, Bank Indonesia (BI) sudah memberi sinyal tidak ada kenaikan suku bunga pada April atau Mei, maka waktu terbaik untuk masuk pasar obligasi yakni sekitar Februari agar mendapat imbal hasil maksimal.

Atau, misalnya jika BI memutuskan untuk menaikan suku bunga sekali lagi mengikuti kebijakan The Fed pada Juni atau Juli, maka waktu terbaik untuk masuk pasar saham adalah sekarang, atau sekitar Maret.

"Secara historis, kalau kita masuk di momen 3 bulan sebelum pick rate, biasanya 1 tahun kinerja obligasi bisa naik 13-15 persen return-nya,” mbuh Felicia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Katalis Positif untuk Obligasi

Obligasi memang akan mengalami katalis positif saat suku bunga acuan mulai stabil, atau tidak lagi ada kenaikan. Sebagai contoh, felicia menjelaskan obligasi AS atau US treasury 10 tahun yang imbal hasilnya sudah turun 0,5 bps atau dari sekitar 3,8—3,9 persen menjadi 3,3–3,4 persen.

"Kalau imbal hasil turun, harga obligasi naik. Begitu juga yang terjadi dengan obligasi pemerintah RI denominasi dolar Amerika Serikat. Ini relatif diuntungkan dengan kondisi global dan suku bunga saat ini, juga untuk obligasi di rupiah,” jelas Felicia.

Sedangkan untuk paruh kedua tahun ini, Felicia mengatakan pasar saham yang akan lebih banyak mendapat sentimen positif. Hal itu merujuk pada mulai bangkitnya konsumsi jelang pemilu 2024. Sehingga pertumbuhan itu turut mengerek kinerja emiten di pasar saham.

“Semester II kita klan lihat katalis lebih ke pasar saham karena equity akan dipicu dari sisi growth karena adanya pemilu di 2024,” pungkas dia.

3 dari 4 halaman

Menakar Dampak Kondisi Global Terkini terhadap Ekonomi hingga Pasar Modal Indonesia

Sebelumnya, ekonomi Indonesia disebut lebih bertahan selama periode krisis beberapa waktu terakhir. Termasuk saat bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed agresif mengerek suku bunga acuan untuk mengatasi inflasi.

Vice President of Sales and Distribution PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Felicia Iskandar menilai ekonomi Indonesia sudah tidak lagi sepenuhnya mengekor pada Amerika Serikat. Sehingga sentimen yang terjadi di negara itu, akan berdampak relatif minim untuk ekonomi Indonesia.

"Kondisi perekonomian Indonesia sudah tidak terlalu mengekor AS. Jika ada dampak, itu lebih ke sisi kurs mata uang. Misalnya saat suku bunga naik, kurs rupiah terhadap dollar menguat. Artinya rupiah melemah," ujar Felicia dalam Money Buzz, Selasa (28/3/2023).

Di sisi lain, Felicia mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia bersama Bank Sentral Indonesia, Bank Indonesia (BEI) dalam upaya untuk mewujudkan hilirisasi. Menurut dia, upaya tersebut berdampak positif pada surplus neraca dagang RI. Sehingga ekonomi domestik cukup resilien meski terjadi ketidakpastian pada ekonomi global.

"Ekonomi Indonesia sudah cukup independen. Ini prestasi dari pemerintah dan BI dalam 5-6 tahun terakhir yang melakukan perubahan yang struktural. Downstreaming atau hilirisasi, ini sukse tidak hanya naikkan ekspor, tapi juga jaga stabilitas rupiah,” ujar dia.

 

 

 

4 dari 4 halaman

Volatilitas Masih Terjadi

Melalui hilirisasi, Felicia mengatakan lebih banyak dollar masuk. Bersamaan dengan itu, ekspor naik setidaknya 10 kali lipat hingga mengalami current account surplus. Kondisi ini menunjukkan Indonesia telah masuk pada pertumbuhan yang lebih baik, dari sebelumnya yang mungkin terhambat ongkos impor saat rupiah tertekan.

"Selama ini kita kalau mau tumbuh harus impor lebih banyak, rupiah melemah. Sekarang rupiah stabil, current account surplus. Kalau mau genjot impor untuk pertumbuhan ekonomi itu tidak terhambat," tutur Felicia.

Volatilitas Masih Terjadi

Sementara di pasar modal, Felicia mengatakan volatilitas masih mungkin terjadi. Namun melihat ekonomi domestik yang masih positif, dia menilai pasar modal Indonesia berpotensi mengalami tren serupa. “Kalau pasar modal, investor mau lebih dulu untuk mengambil momentum atau kesempatan. Jadi pasti volatilitas ada. Tapi secara keseluruhan, indonesia punya katalis domestik yang bisa gerakkan pasar modal indonesia,” ujar dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.