Sukses

Kala Perempuan Kota Bandung Bergerak Soroti Isu Diskriminasi

Sejumlah perempuan di Kota Bandung menggelar aksi unjuk rasa menyoroti isu diskriminasi yang masih terjadi para perempuan.

Liputan6.com, Bandung - Sekitar 200 orang di Kota Bandung telah memperingati International Women's Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional 2024, berlokasi depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, pekan lalu (8/3/2024). Massa aksi didominasi barisan perempuan.

Mereka berasal dari ragam latar belakang seperti pelajar, mahasiswa, pedagang, korban penggusuran, pejuang HAM, ibu rumah tangga, seniman, dan lainnya.

Di depan gedung Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu mereka bergantian berorasi, bernyanyi, membacakan puisi, ada pula yang menggelar aksi teatrikal dan mendongeng. Sejumlah orang juga tampak menunjukan poster-poster sindiran, protes atau kritikan.

Secara kolektif, massa berhimpun dalam aliansi Simpulpuan. Aksi peringatan kali ini mengusung tajuk dalam bahasa Sunda, "moal aya haseup mun eweuh seuneu, wanoja ngalawan" (tak akan ada asap kalau tak ada api, perempuan melawan).

"(lWD) ini adalah pengingat akan suatu perjuangan panjang dan pelik di masa lampau, terus berlanjut dengan tantangan yang bisa lebih sulit. Kaum perempuan tertindas belum benar-benar menjalani kehidupan sosial yang setara," ujar seorang perempuan saat berorasi di Kota Bandung.

"Banyak kekerasan berbasis gender di sekitar kita. Banyak yang masih diam dan tidak menyampaikan suaranya. Apakah kita hanya akan diam? Lawan patriarki, lawan dan hancurkan!" teriak seorang perempuan lainnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sorotan Isu

Perwakilan Simpulpuan, Nidan menyampaikan sejumlah isu yang jadi sorotan seperti kekerasan berbasis gender, kesejahteraan buruh perempuan, diskriminasi minoritas, pemberangusan kebebasan sipil dan demokrasi, komersialisasi pendidikan, serta penggusuran.

"Yang pertama soal kekerasan berbasis gender. Itu masih terjadi di luas di ragam lingkungan, bisa terjadi online atau offline, di sekolah bahkan rumah," ujar Nidan.

Nidan melanjutkan, kesejahteraan buruh perempuan juga harus terus diperjuangkan, di antaranya hak maternitas. Kerentanan buruh perempuan semakin meruncing karena Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2023 yang dinilai berpihak pada kelas pemodal.

"Belum lagi soal kedaulatan pangan, terutama karena saat ini harga pokok terus naik. Kondisi itu sangat berpengaruh dan memberatkan kondisi keluarga buruh perempuan," katanya.

Gerakan perempuan Kota Bandung memgecam kasus-kasus diskriminasi, baik terhadap minoritas agama, rasial, disabilitas, maupun gender (LGBTQ).

"Minoritas rasial seperti yang kerap dialami teman dari Papua," katanya.

Masalah kebebasan sipil turut jadi perhatian. Masih terjadi pemberangusan kritik dan ruang bicara seperti tercermin dari kejadian pelarangan atau pembubaran acara-acara diskusi.

"Juga bagaimana represifitas dan kriminalitas yang dilakukan aparat. Kamj juga pertanyakan bagaimana perlindungan untuk aktivis HAM, mereka rentan dikriminilisasi dan direpresi dengan pasal-pasal karet," kata Nidan.

 

 

Gerakan perempuan di Kota Bandung juga menuntut pendidikan yang setara untuk semua orang. Pendidikan harus terbuka luas dan murah, sehingga hak pendidikan bisa mudah terakses oleh ragam kelangan.

Sekolah-sekolah juga sudah sepatutnya semakin terbuka dan ramah terhadap minoritas.

"Pendidikan sekarang sudah jadi barang ekslusif yang hanya bisa diakses segelintir orang karena tingginya biaya. Apakah terjadi kesetaraan dan keadilan di ruang-ruang pendidikan? itu masih sangat dipertanyakan," katanya.

Isu lainnya adalah penggusuran. Dalam pusaran penggusuran, perempuan jadi kelompok yang termasuk paling terdampak. Setelah penggusuran di kampung kota Tamansari, yang puncaknya terjadi pada 2019 lalu, ancaman penggusuran kini membayangi warga Dago Elos.

Simpul-simpul gerakan perempuan di Kota Bandung menyatakan dirinya dan terlibat aktif bersama warga Elos dalam upaya perlawanan penggusuran. Dalam kasus tersebut, ada 300 keluarga atau bahkan sejumlah sumber menyebut ada sekitar 2.000 jiwa yang terancam terdampak penggusuran.

Kasus sengketa lahan ini kuat dugaan didorong kongkalikong kepentingan bisnis apartemen mewah kawasan Bandung Utara.

"Isu yang kita angkat sifatnya interseksionalitas. Perempuan pasti mengalami pengalaman ketertindasan yang berbeda-beda, berdasarkan latar belakangmya seperti apa," kata Nidan.

"Jadi, haseup itu bisa dibilang sebagai amarah perempuan, bagaimana perempuan itu meluapkan rasa amarahnya. Ketertindasan, ketidakadilan, bagi perempuan masih terjadi sampai hari ini," tandasnya.

3 dari 3 halaman

Mencatat Ulang IWD 2021

Pada IWD di Kota Bandung tahun 2021 lalu, buruh perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi), Aat Karwati menyampaikan, secara historis buruh perempuan sangat erat dengan pergerakan awal Hari Perempuan Sedunia. Buruh perempuan memiliki andil krusial dalam perjuangan kesetaraan di masa lampau.

"Perjuangan pada waktu itu, misalnya perjuangan soal jam kerja, upah dan kesetaraan," imbuhnya.

Aat menegaskan, peringatan IWD dapat dijadikan momentum persatuan. Gerakan perempuan, katanya, jangan terpecah belah. Mahasiswa, buruh, pelajar maupun kalangan perempuan lainnya harus melebur dalam satu gerakan bersama melawan ketidakadilan.

"Buruh perempuan harus sadar. Sadar untuk melawan ketidakadilan, melawan segala penindasan terhadap buruh perempuan. Berjuang demi keadilan bagi perempuan," kata Aat.

Seorang perempuan korban penggusuran Program Rumah Deret Tamansari, Eva Eryani mengungkapkan, penggusuran sangat merugikan semua termasuk perempuan. Penggusuran adalah pemiskinan perempuan.

"Penggusuran itu memiskinkan dan ibu-ibu harus memperjuangkan itu, ketika rumahnya tidak ada bagaimana kehidupan keluarganya. Secara luas ini ada yang salah dari bagaimana negara melindungi perempuan," katanya.

Senada dengan Aat, Eva pun menilai bahwa gerakan perempuan jangan membeda-bedakan kalangan. Dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia ini, perempuan sepatutnya menjadikannya untuk menjadi keterhubungan tersebut.

"Sebagai perempuan memang harus menyadari itu karena perempuan bekerja di semua lini. Untuk itulah tidak harus ada sekat di perempuan itu sendiri," katanya.

"Semua perempuan wajib untuk mempertahankan kehidupan anak-anaknya, keluarga dan sekitarnya. Harus kuat, semangat di garda terdepan, perempuan yang utama menjaga agar kehidupan bisa lestari," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini