Sukses

Asrama Dewan Revolusi: Meratapi Getirnya Nasionalisme

Lima kepala keluarga yang selama ini menempati Asrama Dewan Revolusi dipastikan terusir.

Liputan6.com, Aceh - Rumah-rumah di kawasan Kuta Alam, Banda Aceh, ini pernah disebut-sebut sebagai kompensasi untuk eks disiden Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Namun, sebuah cindur mata pulangnya pemberontak DI/TII ke ibu pertiwi itu kini tinggal riwayat.

Kodam Iskandar Muda (IM) menggusur lima keluarga serta kerabat eks pejuang DI/TII yang tinggal di atas lahan dan bangunan kompleks tersebut pada Rabu (18/1/2023).

Siang itu, hari terasa lebih terik dari biasanya. Sejumlah ibu-ibu terlihat berserah sadrah: pekik lantang melalui megafon menyaru dengan pelas iba, menunjukkan rasa putus asa yang demikian masygul. 

Beberapa hari setelah penggusuran, Liputan6.com menemui Cut Badriah (57). Ia merupakan salah satu korban penggusuran yang kini menyewa sebuah rumah di kawasan Aceh Besar berkat bantuan anaknya.

Ia merupakan anak perempuan dari pejuang DI/TII bernama TM. Syah Husin, yang kelak bergabung ke dalam kubu "Dewan Revolusi", sebuah sempalan DI/TII pimpinan A. Gani Usman yang mendukung perundingan dengan pemerintah pusat.

Kharul Ummami dalam penelitiannya berjudul Penyelesaian Konflik Darul Islam Aceh Tahun 1957-1959 (2017) menjelaskan bahwa pada waktu itu di dalam tubuh Darul Islam tengah berlangsung kemelut politik yang mencapai puncaknya pada 15 Maret 1959.

Kolonel TII Hasan Saleh selaku Menteri urusan peperangan NBA (Negara Bagian Aceh)/ NII (Negara Islam Indonesia) didampingi wakil Perdana Menteri Gani Usman, di hadapan kurang lebih 1000 pengikutnya, mengumumkan pengambilalihan kepemimpinan NBA sipil dan militer dari tangan Daud Beureueh.

Hasan Saleh cum suis pun sepakat untuk membentuk Dewan Revolusi, yang kelak menjadi cikal bakal terjadinya perundingan damai yang jauh lebih serius serta moderat pasca Ikrar Lamteh.

Pada tanggal 26 Maret 1959, keluar Komunike No. 2 dari Dewan Revolusi yang menyatakan Dewan Revolusi NBA/NII akan meneruskan permusyawaratan dengan pemerintah Republik Indonesia serta akan menjadikan musyawarah ini sebagai prinsip bukan taktik.

Sejalan dengan pernyataan Komunike No. 2, Dewan Revolusi juga mengirimkan surat kepada Pemerintah Pusat untuk melakukan perundingan resmi pada 21 April 1959.

Presiden Sukarno pun mengirimkan Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi ke Aceh untuk berunding dengan Dewan Revolusi dalam sebuah misi perdamaian yang dikenal dengan sebutan "Missi Hardi."

Perundingan antara delegasi Pemerintah Pusat dengan Dewan Revolusi berjalan cukup alot dan baru kelar pada 26 Mei 1959. Menurut Khairul (2017), beberapa hal yang disepakati para pihak antara lain penyatuan diri Dewan Revolusi ke dalam NKRI untuk melanjutkan revolusi nasional 1945.

Hal kedua yaitu berkompromi dengan pengertian bahwa kedua belah pihak harus mencari kemungkinan untuk selanjutnya membicarakan masalah-masalah yang belum diselesaikan. Yang ketiga meleburkan organisasi NBA sipil dan militer ke dalam tubuh pemerintah Republik Indonesia.

Menyusul kesepakatan itu, Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi mengeluarkaan keputusan No. 1/Missi/1959 tanggal 26 Mei tentang perubahan Daerah Swantantra Tingakat I Aceh menjadi Daerah Istimewa dengan otonomi seluas-luasnya terutama dalam hal keagamaan, adat dan hukum, serta pendidikan (Khairul, h. 128: 2017).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hadiah dari Perdamaian

Sesuai bunyi kesepakatan "meleburkan organisasi NBA sipil dan militer ke dalam tubuh pemerintah Republik Indonesia", pejuang DI/TII yang telah turun gunung pun kontan jadi tentara organik.

Ayah Cut Badriah sendiri, TM. Syah Husin, juga ikut melebur ke dalam tubuh TNI. Ia meninggal pada 1983 dengan pangkat "sersan mayor".

Sebagai hadiah perdamaian, para benggolan Dewan Revolusi diberi sejumlah kompensasi. Salah satunya adalah lahan beserta rumah tempatan sejak 1962 yang kini diklaim masuk ke dalam lis inventaris Kodam IM.

TM. Syah Husin yang awalnya menempati asrama khusus TNI akhirnya juga ikut menempati salah satu rumah yang diperuntukan kepada para pejuang DI/TII atas persetujuan dari Hasan Saleh.

Lelaki itu pun memboyong keluarganya ke rumah tersebut pada 1967. Menurut Cut Badriah, keluarganya mulai tinggal di rumah itu beberapa bulan sejak ia lahir.

Cut Badriah menjalani masa kecilnya di rumah tersebut. Tempat itu dulunya dikelilingi oleh rawa-rawa dan terkesan jauh dari keramaian.

Ia sempat merasakan sewaktu rumah tersebut masih beratapkan rumbia. Seekor lipan pernah jatuh menimpa dirinya saat Cut Badriah kecil sedang bergolek-golek sambil menatap-natap ke atas langit-langit rumah.

"Saya menangis dan berteriak saking takutnya," tutur Cut Badriah.

Ayahnya sempat mendapat penghargaan dari Departemen Perdagangan dan Koperasi RI pada 1982. TM. Syah Husin yang saat itu menjabat sebagai Ketua Primkopad Kodam I/IM ditabal sebagai "tokoh yang berjasa terhadap koperasi/KUD".

Cut Badriah mengatakan bahwa dalam beberapa kesempatan ayahnya juga pernah mengingatkan soal status rumah yang mereka tempati. "Ini bukan rumah tentara, ini rumah hibah. Selalu ayah saya ngomong seperti itu."

Hal itu nyatanya tak berdampak apa-apa bagi status kepemilikan lahan dan bangunan yang telah ditempati selama setengah abad lebih itu. Sekonyong-konyong lahan dan bangunan di atasnya dinyatakan sebagai aset negara oleh Kodam IM.

Atas dalih memiliki alas berupa sertifikat hak pakai nomor 01.01.01.02.4.02004 tanggal 25 Maret 2008 yang dikeluarkan oleh badan pertanahan, Kodam IM pun menggusur rumah Cut Badriah serta empat rumah lainnya.

Sertifikat keluaran BPN melumat habis sporadik milik Cut Badriah dan empat keluarga lainnya. Apa lacur, mereka terempap untuk sebuah pertarungan yang tak pernah seimbang.

3 dari 3 halaman

Negara, Pak Tua, dan Buzzer

Sebelumnya, Senin (16/1/2023), sejumlah tentara mendatangi rumah warga bersama petugas dari PDAM. Tujuannya, selain memberi peringatan, juga untuk mendata agar petugas tidak salah dalam memangkas aliran air PDAM milik warga yang akan digusur.

Apakah kepemilikan SHP Kodam IM yang notabene terbit pada 2008 menegasikan fakta bahwa warga menguasi lahan dan bangunan sejak puluhan tahun silam? Kenapa baru sekarang Kodam IM ripuh?

"Kalau memang itu atas nama Kodam IM, mengapa kami yang masih bayar PDAM? Kenapa kami yang bayar pajak bumi dan bangunan dan listriknya? Itu semua atas nama kami!" tegas Cut Badriah.

Kepala Penerangan Kodam IM Kolonel Inf Irhamni Zainal tak banyak menjawab ketika dihubungi oleh Liputan6.com. Sebuah percakapan yang amat ringkas diakhiri olehnya dengan tautan menuju sebuah berita yang tayang di situs resmi Kodam IM.

Sama sekali tidak ada penyebutan "Dewan Revolusi" di sana. Tentu saja, artikel itu adalah "buku putih" Kodam IM yang bertujuan untuk menangkal narasi yang berseberangan.

Alih-alih memakai kata "gusur" Kodam IM menyebutnya "kegiatan pemurnian pangkalan" untuk penertiban rumah dinas TNI AD dalam rangka mengamankan aset milik negara berupa lahan dan bangunan, yang nantinya akan digunakan untuk perumahan prajurit TNI AD dinas aktif.

Disebut juga bahwa Kodam IM sudah melontarkan surat peringatan dan somasi antara 2022-2023, termasuk juga menyiapkan rumah tinggal selama satu semester. Berita yang persis sama ternyata secara khusus ikut diunggah oleh situs resmi milik Pemerintah Aceh satu hari kemudian.

Cut Badriah cs agaknya jauh dari kesan akan mendapat perhatian dari negara. Pengaduan yang mereka layangkan ke Komnas HAM Perwakilan Aceh pun tak berbuah hasil.

Belakangan LBH Banda Aceh mengecam pernyataan Subkoordinator Penegakan HAM, Mulia R. Manurung di salah satu media bahwa pihaknya sudah "berkoordinasi" dengan Kodam IM terkait pengaduan tentang sengketa tersebut.

Seharusnya, Kodam IM dipanggil dalam taraf sebagai pihak yang diadukan. Penggunaan kata "koordinasi" dinilai tendensius serta akan memancing publik untuk berpikir aneh-aneh.

"Kita juga membantah pernyataan Komnas HAM Perwakilan Aceh bahwa warga tidak bersedia hadir untuk mediasi. Warga maupun LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum tidak pernah menerima undangan mediasi sama sekali," kata Kepala Operasional LBH Banda Aceh, M. Qodrat.

Lembaga itu juga mendesak Ketua Komnas HAM Perwakilan Aceh Sepriady Utama, turun dari jabatannya. Sebab, ia sudah terlalu lama memimpin, terhitung lebih kurang 20 tahun sejak 2003.

"Perlu ada penyegaran dalam tubuh Komnas HAM Perwakilan Aceh agar roda organisasi tetap dapat berjalan sehat dan tidak gampang masuk angin," ketus Qodrat.

Sementara itu, video "penggusuran" yang diunggah oleh akun Instagram LBH Banda Aceh tampak dibombardir oleh buzzer. Beberapa akun yang berkomentar mendukung aksi Kodam IM terkesan dikelola oleh orang yang sama.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.